span.fullpost {display:inline;}

Thursday, April 12, 2007

Nurcahyadi, Kitab Melawan Korupsi

 oleh
Muhammad Ansor
 
Tanggal 27 Januari 2007, tepat di tengah peralihan malam, Nurcahyadi, salah satu aktivis muda progresif meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan yang terjadi pada pukul 23.30 WIB, di Pekanbaru. Ia meninggal tepat dua hari setelah melalui Transparansi International Indonesia (TII) - Riau dan FKPMR menyelenggarakan acara deklarasi Hidup Sehat Tanpa Korupsi.
Nurcahyadi meninggal di tengah berbagai kegelisahan menyaksikan kenyataan maraknya ketimpangan sosial, praktik ketidak-adilan, disparitas pemanfaatan hasil pembangunan, dan korupsi yang membudaya.
Perhatian dan perlawanan yang intensif terhadap permasalahan korupsi di negeri ini kiranya telah menabalkan dirinya sebagai aktivis penentang korupsi yang memiliki keharmonian antara pemikiran dan tindakan keseharian.
Menjadi Koordinator Daerah TII Riau semenjak awal semester kedua 2005 hingga penghujung hayatnya, Nurcahyadi adalah figur aktivis yang tidak pernah menampakkan kepenatan dalam menggelorakan perlawanan terhadap korupsi.
Selama menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (1994-2000) pada Program Studi Pendidikan Dunia Usaha Jurusan Akuntansi, Nurcahyadi memang telah menempa diri dan aktif dalam pelbagai organisasi, antara lain pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKIP Unri (1997-1998), Koordinator Gerakan Mahasiswa (Gema) Unri pada tahun 1998.
Selepas mahasiswa pernah menjadi anggota Koalisi Nasional Kebebasan Memperoleh Informasi, anggota Aliansi NGO tolak Tata Ruang Riau, Koordinator Environmental Parliament Wacht – Riau, Direktur Yayasan Pendidikan Anak (PenA) Riau, Kordinator Bidang Kebijakan Publik di Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau dan salah seorang pengurus FKPMR periode 2003 - 2007. Rekam jejak gerakan dan aktivismenya dalam organisasi memang memperlihatkan komitmennya memperjuangkan terwujudnya Indonesia—Riau khususnya—yang bebas dari praktik korupsi.
Nurcahyadi berulang-kali mengemukakan keyakinannya bahwa "kemiskinan tidaklah menyebabkan korupsi akan tetapi korupsilah yang menyebabkan kemiskinan". Baginya, korupsi adalah awal dari segala petaka bangsa ini. Dalam sebuah tulisannya di tahun 2006 yang belum sempat dipublikasikan, Ia menyatakan bahwa "jika saat ini kita sibuk dengan persoalan bagaimana mengentaskan  kemiskinan, kebodohan dan penyediaan infrastruktur, tentunya hampir dipastikan akan menjadi mimpi yang tak akan terwujud dalam waktu dekat jika praktek-praktek korupsi tetap dibiarkan. Ekspektasi yang besar dari masyarakat untuk mengecap keadilan, kemakmuran dan pemerataan pembangunan akan terasa sulit diwujudkan. Justru akan menciptakan kesenjangan yang berujung kepada keresahan sosial, jika kita saat ini tidak serius untuk menyikapi permasalahan korupsi di negeri ini."
Nurcahyadi mengandaikan, "kalaulah dana kebocoran anggaran tersebut betul-betul dihilangkan dan digunakan sebaik mungkin, kita tidak akan terlalu pusing untuk mencari alternatif membangun sekolah yang rusak, puskesmas yang lapuk, kesehatan gratis, penyediaan buku dan fasilitas publik lainnya yang layak". Ia resah karena melihat persoalan korupsi saat ini hanya menjadi wacana dan komitmen dimulut saja tanpa ditindak lanjuti dengan rencana aksi dan program yang jelas, terukur, terencana, sistematis dan sungguh-sungguh.
Nurcahyadi selalu diterpa kegelisahan, dan benaknya selalu dipenuhi bertumpuk pertanyaan. Pada suatu kesempatan diskusi, Nurcahyadi pernah mempertanyakan di mana sesungguhnya peran umat Islam atau organisasi-organisasi Islam dalam melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi. Umat Islam, bagaimanapun adalah mayoritas penduduk bangsa ini. Lebih-lebih di Provinsi Riau yang menjadikan Islam sebagai identitas kemelayuan.
Tetapi, demikian dia mengungkapkan dengan nada kecewa, alih-alih menampakkan perlawanan yang signifikan terhadap korupsi, justru umat Islam pula yang terseret ke dalam arus praktik korupsi tersebut. Kekecewaannya juga di arahkan kepada organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, IKMI (Ikatan Keluarga Mesjid Indonesia), MDI (Majlis Dakwah Indonesia), dan ormas Islam sejenisnya yang tidak mampu menunjukkan peran yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.
Tidak hanya terhadap soal-soal korupsi, Nurcahyadi juga terekam aktif melakukan kritik atas ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya baik melalui organisasi-organisasi yang dilibatinya maupun dengan mengemukakan pandangan-pandangan personalnya dalam diskusi – diskusi yang dilakukannya hampir disetiap kesempatan.
Saya ingin mengenang Nurcahyadi sebagai sosok manusia Riau yang melakukan pelibatan diri secara menyeluruh terhadap proses demokrasi di negeri ini, kejujurannya yang tidak mengenal batas, dan ketiadaan yang sempurna akan perasaan sadar diri dalam menilai perjuangannya, telah memungkinkan dia mengatasi batasan-batasan tradisional yang diletakkan atas dirinya, yang telah dijadikan oleh banyak pihak orang semata-mata karena dia adalah keturunan Sunda, bukan Melayu: etnis dominan di Riau.
Bagi saya, Nurcahyadi adalah satu contoh bagi kemungkinan lahirnya satu type orang Riau, yakni orang Riau yang betul-betul memiliki kesadaran ke-Riau-an. Pelibatannya secara aktif dan berada pada pusaran inti gerakan sosial melalui FKPMR misalnya, menandakan kesadarannya bagaimana semestinya seseorang dari asal-usul suku-etnis manapun di Riau untuk berbuat dalam konteks kesadaran ke-Riau-an. Ia telah melampaui batasan-batasan yang ada pada dirinya, dengan melakukan metamorfosa secara sempurna sebagai sosok orang Riau. Saya kira pesan inilah yang disampaikan oleh usianya yang pendek itu kepada kita.
Kehidupannya yang bersahaja secara ekonomi, tidak pernah mengeluh dalam berjuang, kesantunan gaya diplomasi, dan ketegasannya dalam memilih traktat pergerakan merupakan penanda bagi ketinggian integritas dan keteladanan yang kini diwariskan Nurcahyadi kepada kita semua. Engkaulah Sahabat. Engkaulah Guru. Selamat Jalan saudaraku, sahabat kita semua.


We won't tell. Get more on shows you hate to love
(and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home