span.fullpost {display:inline;}

Tuesday, April 3, 2007

Menyegarkan Keindonesiaan Kita

oleh :
Muhammad Ansor

Akhir-akhir ini diskursus tentang kesadaran keindonesiaan kembali menjadi perbincangan hangat. Derasnya terpaan permasalahan yang dihadapi bangsa ini menjadikan sebagian orang kehilangan orientasi dan kesadaran kebangsaan mereka. Ada sebagian orang beranggapan bahwa kesadaran keindonesiaan kita sudah mencapai titik puncak dan kini mulai menapaki gerak menurun.
Bahkan sementara orang mengatakan, jangan-jangan kita kini tidak lebih dari sekedar kumpulan orang-orang yang secara kebetulan dilahirkan atau menempati wilayah geografis bernama Indonesia, tanpa memiliki ikatan transendental yang menjadi basis nilai perajut keindonesiaan sebagai mana dirumuskan para pendiri bangsa ini. Anggapan seperti ini memang terkesan berlebihan, tetapi ada baiknya ditempatkan sebagai bahan perenungan.

Menyegarkan Keindonesiaan
Setelah lebih enam puluh tahun kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, sumber-sumber ikatan sosial yang menjadi perajut dan pembentuk kesadaran keindonesiaan kini mulai meredup. Pada masa pra-kemerdekaan, kesadaran kolektif sebagai masyarakat terjajah, dapat menjelma menjadi energi luar biasa: menghadirkan nasionalisme keindonesiaan yang bermanifestasi dalam bentuk perlawanan mengusir imperialisme.
Kini ikatan perekat kebangsaan ini menampakkan gejala memudar, padahal cita-cita kolektif mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—satu hal yang melatari semangat mengusir imperialisme—masih belum berhasil diwujudkan secara maksimal. Pada titik inilah saya kira menyegarkan kembali kesadaran keindonesiaan kita menjadi agenda mendesak.
Menyegarkan kesadaran keindonesiaan bermakna menghadirkan dan meneguhkan kembali pilar-pilar kebangsaan dengan melakukan penafsiran-penafsiran atau mencari solusi baru atas persoalan-persoalan kebangsaan yang kini dihadapi bangsa Indonesia.
“Menyegarkan” kiranya memang identik dengan sebuah semangat baru. Ia tidak berniat “menggantikan” apalagi “menganulir” nilai-nilai lama, tetapi lebih menekankan pada usaha memberikan penafsiran-penafsiran segar dan menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian persoalan kebangsaan secara lebih kreatif.
Meskipun Indonesia masih berumur enam puluhan tahun—satu usia yang terbilang masih relatif muda untuk ukuran perjalanan sebuah bangsa— tetapi patut diakui bahwa bagian-bagian tertentu proses kebangsaan kita mengalami stagnasi dan fosilisasi.
Sebagian besar solusi atas persoalan-persoalan kekikinian merupakan repetisi dari tawaran solusi sebelumnya yang sejujurnya telah kehilangan daya akurasi. Kehidupan berbangsa diperlakukan secara mekanis, dan proses kesejarahan mengalami gerak mundur. Hal demikian ini hanya bermanfaat apabila kita berniat menarik gerbong keindonesiaan ke dalam mesium kepunahan.

Tugas Generasi Muda
Menyegarkan kesadaran keindonesiaan ini saya kira merupakan tugas kesejarahan para generasi muda Indonesia sekarang.
Kiranya patut diakui bahwa kehadiran era reformasi telah turut menyediakan ruang bagi sebagian generasi muda Indonesia untuk tampil ke ruang publik dengan menempati posisi-posisi yang memungkinkan mereka terlibat aktif dalam proses kebangsaan dan kenegaraan.
Ini saya kira merupakan sebuah keniscayaan historis bahwa di setiap babakan historis selalu tersedia generasi yang mewarnai corak zamannya. Demikianlah yang terjadi pada era tujuh-puluhan dan delapan puluhan di mana generasi muda yang sebagian mereka merupakan aktivis gerakan mahasiswa tahun enam-puluhan berhasil memainkan peranan penting dan mewarnai corak kebangsaan Indonesia di masa sesudahnya.
Untuk mewujudkan kesempatan-kesempatan ini, kaum muda harus menampilkan diri mereka dalam berbagai cara. Introversi dan keterpencilan timbal balik di mana aliran-aliran politik utama sekarang ini menanggulangi persoalan kebangsaan, membutuhkan suplay gagasan dari elite kepemudaan dan terutama kelas intelegensia mereka dengan membuka jalur komunikasi antar kelompok-kelompok aliran gerakan sosial-politik yang tersedia.
Kaum elite kepemudaan harus membantu mengarahkan kepentingan berbagai kelompok politik dan menghubungkan mereka dengan masalah-masalah nyata dan mendesak di negeri ini.
Pemanfaatan itu sangat banyak bergantung pada upaya tak kenal lelah dari kelompok-kelompok yang fasih yang terikat pada pengembangan pemerintahan demokratis guna membangkitkan kembali kesadaran keindonesian masyarakat bangsa ini.
Pula, menjadi tugas pemuda untuk duduk sebagai tukang jaga proses penyegaran keindonesaan tersebut, untuk menjelaskan dan menjernihkan masalah-masalah yang terlibat dalam pengambilan keputusan, tindakan, atau perkembangan yang membahayakan gerak keindonesiaan kita.
Ini akan merupakan perjuangan panjang yang membutuhkan keberanian, keuletan, pengendalian diri, dan terutama kecerdasan. Karena itu pula, generasi muda sekarang yang ingin memberikan sumbangan politis dan sosialnya harus menghindari baik komitmen yang terlalu kaku maupun jalan pengkhianatan.
Mereka harus memasang pemikiran dan visinya sendiri dalam kerangka historis dan sosiologisnya, dan menghubungkannya dengan apa yang secara politis mungkin dilakukan. Ia, dalam pandangan saya harus bisa mengendalikan ketidak-sukaannya terhadap otoritas dan organisasi birokratis, tanpa kehilangan kebebasan dan identitas kedirian mereka. Sebab dengan cara demikianlah mereka mampu mendesakkan gagasan-gagasan idealis mereka ke dalam proses penentuan arus keindonesiaan di masa-masa mendatang.
Mengakhiri tulisan ini, satu hal yang saya kira penting untuk kita insyafi bersama adalah keindonesiaan adalah sebuah ”proses menjadi”. Ia tidak akan pernah mengenal kata final, karena itu merupakan tugas kita untuk tetap melakukan pengawalan proses keindonesian ini dari ”rezim stagnasi”. Pemuda hari ini merupakan penentu corak dan warna keindonesiaan kita di masa-masa mendatang.
====
Muhammad Ansor, mahasiswa pascasarjana (S3) UIN Jakarta dan Direktur Riset pada The Riau Institute.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home