span.fullpost {display:inline;}

Sunday, March 25, 2007

Partai Politik dan Civil Society

oleh
Darmadi Ahmad dan Muhammad Ansor

Mayoritas masyarakat Bengkalis, yakni 59% menyatakan anjuran organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) tidak akan mempengaruhi preferensi politik mereka, 37% menyatakan akan mempertimbangkannya, dan 4% lainnya tidak menentukan sikapnya. Sebanding dengan itu, sebagian besar masyarakat atau setara dengan 65,1% menyatakan anjuran tokoh informal masyarakat tidak akan mempengaruhi preferensi politik mereka, 27% menyatakan terpengaruh, sementara 8,3% lainnya tidak menyatakan sikapnya. Survey juga menemukan 65% masyarakat memastikan tidak terpengaruh dengan preferensi politik anggota keluarga mereka, hanya 23% yang menyatakan terpengaruh, sementara 12% lainnya tidak menentukan sikapnya. Hal ini terangkum dari hasil survey tentang persepsi dan harapan masyarakat Bengkalis terhadap Pilkada yang diselenggaran JSPDL (Jaringan Studi Pemberdayaan Demokrasi Lokal) pada 10-17 Januari 2005. Sebanyak 781 responden yang menyebar di seluruh Kecamatan di Bengkalis dengan perkecualian Kecamatan Rupat dan Rupat Utara dimintai pendapatnya. Penentuan responden dilakukan melalui metode multi stage random sampling. Empat kelurahan/desa di setiap kecamatan dipilih, terdiri dari satu kelurahan/desa yang merupakan Ibu Kota Kecamatan, satu desa yang terdekat dengan Ibu Kota Kecamatan dan dua desa terjauh dari Ibu Kota Kecamatan. Temuan survey di atas selain memperlihatkan independensi pemilih dalam menentukan preferensi politik mereka, juga menjungkir-balikkan asumsi sebagian kalangan bahwa preferensi politik masyarakat dapat direduksi ke dalam pilihan beberapa elit anggota atau elemen masyarakat tertentu. Pada kenyataannya, alam demokrasi yang bergulir drastis lebih dari setengah dasarwarsa terakhir, melahirkan masyarakat yang kritis dan berkesadaran dalam menentukan preferensi politik mereka. Meskipun mayoritas masyarakat menyatakan tidak terpengaruh dengan anjuran dari ormas, tokoh-tokoh informal maupun anggota keluarga mereka, namun menariknya, lebih dari separuh responden atau sebanding dengan 51,6% menyatakan anjuran partai politik yang mereka pilih pada pemilu 2004 lalu akan mempengaruhi preferensi politik mereka. Sepadan dengan ini, sekitar 45% responden menyatakan tidak terpengaruh, dan hanya 3,3% responden yang tidak menjawab. Terkecuali terdapat perubahan persepsi yang cukup signifikan, temuan di atas menyiratkan bahwa Pilkada pada tahap tertentu merupakan angin segar bagi partai politik untuk mempertahankan perolehan suara mereka yang didapatkan pada Pemilu 2004 lalu. Menggunakan ungkapan berbeda, partai politik yang memiliki perolehan suara cukup besar secara teoritis lebih berpeluang memenangkan Pilkada, apabila dibandingkan dengan calon yang diusulkan partai politik yang memiliki perolehan suara lebih kecil. Tentu yang demikian merupakan warning dari partai-partai yang lebih kecil untuk bekerja lebih keras dalam memperebutkan simpati masyarakat. Fakta bahwa separuh anggota masyarakat akan mempertimbangkan calon usulan partai yang mereka pilih pada pemilu lalu, sesungguhnya tidak secara otomatis melempangkan aktivis partai untuk memenangkan perebutan kursi kepala daerah/wakil kepala daerah. Sebab, secara mengejutkan survey ini menemukan espektasi (harapan) masyarakat terhadap calon kepala daerah yang berlatar belakang aktivis partai politik masih sangat rendah. Masyarakat menaruh kepercayaan yang jauh dari angka signifikan kepada para aktivis partai politik untuk memimpin daerah mereka. Ini terungkap dari pernyataan 25% responden yang lebih suka memilih calon Bupati dari kalangan profesional. Jumlah ini hampir sebanding dengan responden yang menyukai calon Bupati dari kalangan agamawan atau atau tokoh agama (20,4%), disusul kalangan cerdik pandai/cendikiawan (15%), kalangan pejabat pemerintaah (9%), kalangan TNI/POLRI (7%), dan selanjutnya, 6% reponden lebih menyukai calon Bupati dari kalangan Pengusaha. Adalah menarik dicermati, responden yang menyukai calon Bupati dari aktivis partai politik hanya berkisar 2,4%, atau sebanding dengan minat 2% masyarakat yang menyukai untuk mencalonkan budayawaan, dan aktivis NGO (Non-Government Organization, LSM) yang berkisar 1,3%. Selanjutnya sekitar 1,8% responden memutuskan tidak memilih (golput) dari kalangan manapun yang disebutkan di atas, dan (9,5%) lainnya menyatakan tidak menyatakan sikapnya. Walaupun sekitar separuh responden menyatakan akan mengikuti anjuran partai politik yang mereka pilih pada 2004 lalu, namun sesungguhnya telah memiliki kualifikasi tersendiri menyangkut basis sosial seorang figur tertentu. Lalu masalahnya adalah bagaimana mengaktualisasikan espektasi ideal masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, terutama apabila dipertalikan dengan aturan main pelaksanaan Pilkada yang memposisikan partai sebagai institusi super body, setidaknya dilihat dari kewenangan partai dalam menentukan siapa figur calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Sebab, pasal 36 ayat (2) PP No. 5/2005 menyatakan bahwa seorang calon kepala daerah harus bersaing melalui sebuah partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Betapapun memiliki otoritas, namun kewenangan partai politik bukan yang tak terbatas. Pasal 37 ayat (3) mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon. Demikian pula, pasal yang sama ayat (6) menambahkan bahwa “dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan yang berkembang di masyarakat”. Ruang konsitusi sebagaimana disebutkan pasal 37 ayat (3) dan (6) ini merupakan medium yang mutlak harus dimanfaatkan masyarakat agar aspektasi ideal masyarakat dapat terealisir. Sejalan itu, adalah menarik untuk mempertimbangkan beberapa tawaran alternatif berikut. Pertama, elemen strategis masyarakat harus memprakarsai pembentukan jaringan lokal untuk mengadvokasi isu Pilkada sehingga bisa dijadikan agenda komperehensif. Selain berfungsi sebagai jangkar informasi publik, jaringan ini juga akan memonitor dan mengawasi secara independen proses tahapan Pilkada, dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap konflik sosial pasca-Pilkada. Kedua, memfasilitasi forum konsultasi politik lokal antara masyarakat dengan Partai Politik. Selain merumuskan agenda politik bersama, merumuskan kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan, juga mendorong dan melakukan tekanan terhadap partai politik khususnya yang memenuhi persyaratan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah, untuk memilih kanditat yang berkualitas. Ketiga, melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik yang beroperasi di bawah kesadaran yang kritis, bukan semata politik mobilisasi. Sebab, pendidikan politik sesungguhnya tidak melulu menekankan kesadaran kritis, melainkan kesadaran berpolitik rakyat. Singkatnya, masyarakat perlu memprakarsai pembentukan aliansi-aliansi strategis melalui penguatan institusi-institusi civil society dengan agenda melakukan pressure kepada partai politik untuk melakukan rekruitmen partai politik secara demoktatis dan transparan, bukan hanya “sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” sebagaimana dilukiskan dalam UU No 32/2004 dan PP No 5/2005, melainkan, yang lebih penting adalah sesuai dengan arus utama espektasi ideal masyarakat.***
Tulisan ini pernah dimuat Harian Riau Mandiri 2 Maret 2005

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home