span.fullpost {display:inline;}

Sunday, March 25, 2007

MEMBANGKIT OTONOMI LOKAL (kajian sejarah pergerakan pembentukan kabupaten Rokan Hilir)

oleh
Muhammad Ansor
Muhammad Darwis
Tabrani

Abtraksi
Mengangkat hasil penelitian menjadi sebuah buku yang utuh bisa menguntungkan, tetapi bisa pula memalukan. Bagaimanapun, buku yang berawal dari sebuah penelitian dengan fokus utama memeriksa sejarah pembentukan dan implementasi otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir, harus kami hadirkan ke hadapan pembaca. Rangkaian topik yang akan kami hadirkan dalam bab-bab buku ini merupakan bagian dari interpretasi atas acuan penelitian, tidak hanya dalam mengoperasikan kerja-kerja di lapangan, melainkan pula dalam menarasikan fenomena sosial di Kabupaten Rokan Hilir setelah tujuh tahun menjadi kabupaten sendiri ke dalam sebuah tulisan. Penelitian ini dipersiapkan sebagai sebuah studi tentang gerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir dan implikasi implementasi otonomi daerah terhadap konstuksi sosial masyarakat Kabupaten Rokan Hilir. Namun di lapangan muncul sederat godaan untuk melakukan modifikasi-modifikasi kecil terhadap mainstream penelitian ini, sehingga rangkaian isi buku ini tidak memperlihatkan kesetiaan tinggi terhadap kerangka metodologis yang telah kami rancang sendiri pada saat memulai kerja lapangan. Bagaimana pun hal seperti ini dilakukan setelah konteks sosial yang kami temui dilapangan ketika melakukan penelitian. Desakan fakta-fakta dan data-data yang kemi temui di lapanganlah kiranya yang menjadi figur penggoda sehingga akhirnya memaksa menghianati metodologi yang kami rancang sendiri. Bagian pertama buku ini berisi pendahuluan. Lalu dilanjutkan dengan perbincangan tentang proses dan pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir yang kami letakkan pada bab ke dua. Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir disadari telah menorehkan sebuah catatan historis tentang pergulatan dan aktivisme masyarakat daerah ini dalam mewujudkan cita-cita kolektif mereka menjadi satu daerah administratif sehingga lebih memiliki kemandirian menentukan masa depan daerah mereka sendiri. Tetapi, cita-cita sosial itu tidak muncul dalam rentang singkat dari saat gagasan ini diintrodusir menjadi sebuah aksi lapangan. Pemaparan pada bagian ini akan memperlihatkan deretan pengalaman kegagalan yang menyelimuti hamparan pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir sampai akhirnya kegagalan menyingkapkan sayap pada era reformasi. Selain pemaparan tentang dinamika pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir, pemaparan pada bagian ini memperlihatkan pula konteks sosial politik hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang kemudian mengakumulasi sebagai respon moderat berupa keinginan pemekaran wilayah administratif. Implementasi cita-cita sosial pembentukan Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian menarik dicermati. Dinamika perjalanan masyarakat Rokan Hilir pasca keberhasilan mereka membentuk daerah administratif tingkat dua faktanya tidak secara serta merta memuluskan mereka mengusir semua problem sosial kemasyarakatan yang dahulu menginspirasi gerakan pemekaran tersebut. Pembahasan pada bab tiga akan menguraikan dinamika implementasi otonomi daerah di Rokan Hilir dengan menekankan pada capaian dan hambatan implementasi politik dasentralisasi ini. Studi pengalaman implementasi otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir kami hadirkan dalam perbincangan pada bab empat dan lima buku ini. Mengangkat kasus pengalaman pemilihan umum 2004 dan dinamika pluralisme sosial di Kabupaten Rokan Hilir sebagai studi kasus untuk menganalisa implementasi politik desentralisasi ini; memperlihatkan elastisitas kerangka metodologis yang kami gunakan dalam menginterpretasi praktik-praktik otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir. Terlepas dari itu, perbincangan tentang proses nominasi calon anggota legislatif di Kabupaten Rokan Hilir akan kami hadirkan dalam perbincangan di bab empat. Tidak semua partai politik akan ditempatkan sebagai pusat perhatian, melainkan hanya lima partai dominan dalam hal perolehan suara pada pemilu 2004: yakni, Partai Golkar, PDIP, PPP, PBR dan PDK. Tiga partai yang disebutkan pertama merupakan kekuatan politik dominan di daerah ini, sementara dua partai politik yang disebutkan terakhir merupakan kekuatan politik baru pasca pemilu 2004. Selanjutnya perbincangan mengenai praktik pluralisme sosial masyarakat dalam Rokan Hilir akan dihadirkan pada bab lima. Bab ini minimal akan menghadirkan empat sub pembahasan guna menganalisa praktik pluralisme sosial di Kabupaten Rokan Hilir. Empat sub pembahasan tersebut yakni pada kasus relasi antara etnis Melayu dan Tionghoa, organisasi massa Islam dengan fokus utama dinamika Nahdlatul Ulama Kabupaten Rokan Hilir, gerakan mahasiswa dan topik tentang relasi antara politik dan etnisitas di daerah ini. Demikianlah buku ini kami hadirkan. Sebelum mengakhiri, kiranya perlu kami mengutarakan, mengingat disparitas yang begitu berjarak antara cita-cita sosial gerakan pembentukan kabupaten dengan fakta sosial yang kini kita saksikan pasca tujuh tahun usia daerah ini berada di bawah rezim kemandirian (baca: otonomi daerah), maka sekarang adalah saat di mana masyarakat daerah ini menginsyafi perlunya satu momen historis dalam bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan dengan penggunaan kekuasaan yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita sosial para pendahulu mereka saat menggelorakan gerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir.***

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home