span.fullpost {display:inline;}

Sunday, April 8, 2007

ANALISIS KASUS MURTAD



OLEH

MUHAMMAD DARWIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bidang hukum Islam yang sangat dekat dan erat dengan perilaku masyarakat Islam Indonesia adalah bidang hukum sosial keluarga yang di dalamnya meliputi perkawinan, warisan dan wakaf. Sebab peristiwa yang berkenaan dengan aturan tata nilai sosial tersebut pasti akan dialami dan dijalani oleh setiap muslim dalam perjalanan hidupnya.
1Dengan dekatnya hukum sosial kekeluargaan ini dengan masyarakat Islam membuat Yahya Harahap mengatakan bahwa telah terjadi transformasi kesadaran masyarakat Islam yang cendrung mengangkat nilai hukum dalam bidang sosial kekeluargaan Islam sebagai salah satu aspek “simbol” akidah (imam).
[1] Hal ini ditunjukan dengan betapa pun seseorang itu tidak melaksanakan ibadah shalat dan puasa, namun jika ia hendak melaksanakan pernikahan ia tidak berani melanggar dan melangkahi ketentuan rukun dan syarat-syarat nikah secara Islam.
Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan perkawinan?.
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
[2] Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula.
Kebahagian yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan adalah sesuatu hal yang relatif dan subyektif.
[3]
Relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan, namun pada waktu yang lain mungkin tidak dapat menimbulkan lagi kebahagiaan. Subyektif oleh karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu kebahagiaan bagi orang lain.
Tujuan perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana keluarga bahagia itu ?. Walalupun kebahagiaan itu relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang bahagia atau walfare.
Keluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan dengan baik tanpa goncangan-goncangan atau pertengkaran-pertengkaran yang berarti (free from quarelling).
[4]
Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian.
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
[5] Hal ini senada dengan firman Allah: Q.s. ar-Rum [XXX]: 21 yang berbunyi:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu berfikir”.

Tujuan kedua dari perkawinan menurut Islam adalah menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw yang dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasullulah SAW. Berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.
[6]
Berkaitan perkawinan masih banyak persoalan yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh, persoalan yang ingin dituangkan penulis dalam penelitian ini adalah perkawinan yang sedang berlangsung tetapi salah satu pihak telah melakukan perbuatan murtad dan akibat hukumnya serta tata cara putusnya perkawinan akibat murtad.
Persoalan murtad ini diangkat penulis karena murtad merupakan sesuatu yang bersifat sensitif, dan masih sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Murtad ini akan lebih mendekati perkawinan beda agama. Jika dikaitkan antara keduanya hampir saling berhubungan yaitu salah satu pihak beda agama.
Namun perbedaan keduanya adalah perkawinan beda agama adalah perkawinan beda agama merupakan keinginan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan lahir batin dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda, sedangkan persoalan murtad terjadi ketika perkawinan sudah berlangsung, dan salah satu pihaknya melakukan peralihan agama di dalam perkawinan tersebut.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa banyaknya peceraian perkawinan yang diakibat oleh peralihan agama, dikarenakan tidak diaturnya dalam Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan beda agama, sehingga terjadi penyeludupan hukum dengan berpura-pura memeluk agama yang satu (Islam). Apakah benar asumsi yang demikian ?.
Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
[7]
Dalam Agama Islam pihak yang akan menikah harus menganut agama yang sama atau wanita kitabiyah, jika kedua pihak belah pihak itu berlainan agama atau bukan wanita kitabiyah dalam Islam perkawinan tersebut dilarang. Sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satu pihak harus ikut menganut agama Islam atau wanita kitabiyah. Mengenai wanita kitabiyah ulama masih berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Contoh kasus tentang perkawinan yang diputuskan karena murtad antara lain:
1. Siti Maryam binti Abu Yahya, umur 27 tahun agama Islam menikah dengan Junaedi bin Manap umur 32 tahun beragama non-Islam, menikah secara Islam di KUA Kecamatan Kebayoran Baru, setelah dikaruniai lima orang anak, suami (Junaedi bin Manap) kembali ke agamanya semula non-Islam (murtad). Otomatis meraka harus diceraikan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 37/l/1985 tanggal 11 Mei 1985.
[8]
2. Leginingsih binti Legito Amir, umur 23 tahun beragama Islam menikah secara Islam di KUA Kecamtan Kebayoran Lama, dengan laki-laki non-Islam yang bernama Supartono bin Josowidagdo umur 37 tahun diputuskan cerai dengan penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 27 Oktober 1983 No. 394/1983, setelah mendapat 4 (empat) orang anak dari suaminya yang semula beragama non-Islam tersebut karena suaminya kembali keagamanya semula non-Islam (murtad).
3. Ny. Susiawati binti Karyani, umur 20 tahun yang menikah secara Islam di KUA Tanah Abang dengan Suratno bin Tronowidjojo agama non-Islam, setelah dikaruniai 2 (dua) orang anak telah ditetapkan cerai oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 109/1984 tanggal 4 Oktober 1984, karena suaminya murtad yaitu kembali keagamanya semula non-Islam.
Banyaknya kasus yang terjadi peralihan agama setelah pernikahan secara Islami, membuat penulis berkeinginan meneliti lebih jauh apakah yang harus dilakukan terhadap persoalan ini dan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut?.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah status hukum menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang salah satu pihak keluar dari agama Islam?
2. Benarkah kemurtadan suami mengakibatkan perkawinan tersebut batal jika dihubungkan dengan surat al-Baqarah ayat 221 dan bagaimana sebaliknya apabila isteri murtad, apakah perkawinan itu tetap sah jika dihubungkan dengan surat al-Maidah ayat 5?
3. Akibat hukum apa yang timbul dari perkawinan yang salah satu pihak pindah agama menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawaban atas masalah-masalah tersebut dengan upaya sebagai berikut:
1. Mengetahui status hukum dari sikap murtad dalam perkawinan secara Islam menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Mengetahui konsep hukum Islam tentang perkawinan beda agama dengan dikaitkan dengan perkawinan yang salah satu pindah agama / murtad.
3. Mengetahui akibat hukum apa yang ditimbulkan dari perkawinan yang salah satu pindah agama murtad.

D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pembinaan, pembangunan dan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama, anggota DPR-RI selaku pembuat Undang-Undang dan anggota masyarakat yang berkecimpung dalam bidang hukum Islam.

E. Kerangka Pemikiran
1. Teori Tentang perkawinan
Perkawinan merupakan suatu aktivitas, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Selain aktivitas itu mempunyai tujuan tertentu, aktivitas ini juga didorong oleh sesuatu yang menyebabkan terjadinya aktivitas tersebut; demikian juga dengan perkawinan. Selain perkawinan itu mempunyai tujuan tertentu, perkawinan juga mempunyai pendorong tertentu pula, sehingga seseorang melangkah ke jenjang perkawinan.
[9]
Berkaitan dengan “pendorong” ini, timbul suatu pertanyaan apakah yang mendorong ataupun melatarbelakangi terjadinya perkawinan itu?.
Manusia sebagai makhluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup yang lain, khususnya dengan hewan. Dengan kelebihan yang ada pada manusia, maka sudah sewajarnya bahwa manusia dapat menggunakan kelebihan itu dengan baik, misalnya manusia dapat berpikir, manusia mempunyai kata hati.
[10]
Filsuf Yunani yaitu, Aritoteles mengemukakan bahwa manusia itu adalah zoon politikon, yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi.
[11] Hidup bersama merupakan gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang yang lain.
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan–kebutuhan seperti makhluk hidup yang lain, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melang-sungkan eksistensinya sebagai makhluk, maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan manusia tidak terbilang banyaknya, kiranya kurang mungkin untuk menginvetarisasi kebutuhan-kebutuhan seluruhnya. Karena itu pada umumnya kebutuhan itu diklasifikasi untuk lebih mudah melihat secara menyeluruh.
Menurut Gerungan yang dikutip dari buku Bimo Walgito bahwa ada tiga macam kelompok kebutuhan manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan theologis. Hal ini didasarkan atas pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk biologis, sosial dan relegi.
[12]
Selanjutnya menurut Maslow yang dikutip dari buku Bimo Walgito, bahwa ada beberapa kebutuhan yang ada pada manusia yang sifatnya hirarkhis. Sesuatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah:
a. The physiological needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis, dan kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara kebutuhan-kebutuhan lain.
b. The safety needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan rasa aman.
c. The belongingness and love needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial.
d. The esteem needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan, termasuk rasa harga diri, rasa dihargai.
e. The needs for self-actualization, yaitu kebutuhan untuk mengakutalisasikan diri, kebutuhan ikut berperan.
[13]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia pada dasarnya yang dapat digolongkan menjadi :
a. Kebutuhan yang bersifat fisologis, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kejasmanian, kebutuhan-kebutuhan yang diperlu-kan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk hidup misalnya kebutuhan akan makan, minum, seksual, dan udara segar.
b. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologik, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan segi psikologis, misalnya kebutuhan akan rasa aman, rasa pasti, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri.
c. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan berteman dan kebutuhan bersaing.
d. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat religi, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan dengan kekuatan yang ada diluar diri manusia kebutuhan untuk berhubungan dengan sang pencipta.
Perlu dikemukakan di sini sekalipun adanya bermacam-macam golongan kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas, namun tidak berarti kebutuhan-kebutuhan itu terpisah satu dengan lainnya.
Setiap kebutuhan-kebutuhan yang ada di atas memerlukan pemenuhan, karena itu manusia selalu berusaha untuk memenuhinya. Perkawinan sangat berkaitan dengan kebutuhan fisologis yaitu kebutuhan seksual, kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan rasa kasih sayang, kebutuhan sosial kebutuhan untuk berteman dan bermasyarakat, dan kebutuhan religi yang didasari oleh kepercayaan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh individu bersangkutan.
Demikian eratnya kebutuhan akan perkawinan dengan kehidupan manusia memberi arti penting tentang keberadaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diharapkan perkawinan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia dapat berjalan dengan baik dan benar.
Peradilan Agama yang memegang kekuasaan menjalankan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempunyai kewenangan mengatur beberapa hal antara lain:
a. Izin beristeri lebih dari seorang (izin poligami),
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat,
c. Dispensasi perkawinan,
d. Pencegahan perkawinan,
e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah,
f. Pembatalan perkawinan,
g. Guguatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri,
h. Perceraian karena talak,
i. Gugatan perceraian,
j. penyelesaian harta bersama,
k. Mengenai penguasaan anak,
l. Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung-jawab tidak memenuhinya,
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri,
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua,
p. Pencabutan kekuasaan wali,
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut,
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orangtuanya,
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,
t. Penetapan asal usul seorang anak,
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran dan,
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
[14]



2. Murtad
Dalam agama Islam istilah murtad atau peralihan agama ini adalah peralihan dari agama Islam kepada agama non-Islam yang disebut dengan istilah murtad (“apostacy”).
Konotasi peraliahan agama tersebut sesuai dengan pemahaman ajaran Islam mengenai agama, bahwa agama yang dianggap hak/benar hanyalah agama Islam, berdasarkan ketentuan Allah yang terdapat dalam al-Quran, yaitu:
a. Q.S. Ali Imran [III]: 19 yang berbunyi: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”
b. Q.S. Luqman [XXXI]: 30 yang berbunyi: “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil;...”
c. Q.S. Ali Imran [III]: 85 yang berbunyi: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya...”
Asal kata dari kata murtad di dalam bahasa Arab adalah: irtadda yang artinya berbalik kembali. Murtad adalah kembalinya seseorang muslim yang berakal dan baligh dari Islam menjadi kafir atas kemauannya sendiri tanpa paksaan dari siapapun, baik dia laki-laki maupun perempuan.
[15]
Firdaus dalam tulisannya riddah sebagai kanker akidah memberikan faktor penyebab yang bisa mempengaruhi jiwa seseorang sehingga beralih dari yang benar kepada yang salah yaitu:
a. Faktor fsikologis. Salah satu bentuknya adalah faktor cinta. Pengaruh rasa cinta yang berkecamuk dalam diri seseorang, jika tidak berhati-hati dan waspada akan merusak iman dan aqidah seseorang.
b. Faktor sosial dan lingkungan. Faktor ini tidak sedikit mempengaruhi jiwa seseorang. Jika seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok yang mempunyai ideologi (ajaran) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka pengaruhnya ke dalam diri anggotanya bertambah besar, karena dibujuk dan dirayu dengan berbagaai godaan dan rayuan duniawi yang menyesatkan.
c. Faktor politis. Faktor ini amat berperan dalam memurtadkan manusia dari agamanya, salah satu contoh adalah gerakan misionaris kristen yang aktif hampir di seluruh Indonesia, walaupun mereka harus menyesuaikan diri pada kondisi-konsisi setempat.
[16]
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [II]: 217 juga menerangkan tentang akibat dari murtad, yang berbunyi:
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka amal mereka menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.

Konsepsi Islam tentang murtad jika dikaitkan dengan permasalahan perkawinan adalah penyebab dari putusnya hubungan perkawinan. Hal ini, didasari oleh firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 221 dan Q.S. Mumtahanah: 10 yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman; sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman; sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walau pun dia menarik hatimu”.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (betul-betul) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Namun pelarangan hal tersebut masih terdapat pengecualian yaitu sesuai dengan firman Allah Q.S. al-Maidah: 5 yang berbunyi:
”(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.

Walaupun dalam Q.S. al-Maidah: 5, laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, namun para ulama berpendapat bahwa yang lebih diutamakan adalah meninggal terjadinya perkawinan dengan wanita ahli kitab, sedangkan Perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim adalah haram mutlak sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221.
Menurut pendapat penulis persoalan murtad di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak mengatur secara jelas. Sehingga masih perlu diadakan perubahan untuk persoalan ini yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian dan cara penulisan metode diskriptif-analisis.
Metode diskriptif ini dilakukan untuk mendeskripsikan permasalahan murtad dalam perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam, dan menggambarkan secara menyeluruh tentang Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, dan metode analisis dilakukan untuk melakukan analisis tentang kasus murtad dalam perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.

2. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah labrary research untuk memperoleh data skunder yang terdiri dari bahan-bahan penelitian hukum. Bahan-bahan hukum tersebut meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
3) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
4) Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b. Bahan Hukum Skunder
1) Buku-buku literatur hukum
2) Desertasi, tesis, atau laporan penelitian
3) Artikel dan makalah
c. Bahan Hukum Tertier
1) Kamus
2) Ensiklopedi

3. Analisis Data
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian hukum ini, digunakan untuk menambah pengetahuan terhadap persoalan murtad dan akibatnya terhadap proses perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam.
Analisis terhadap kasus yang ada akan dinilai dari duduk perkara, dasar pertimbangan hukum, amar (dictum), dan putusan.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini antara lain memuat beberapa bab dan sub-bab, yang meliputi point penting terhadap permasalahan yang ada, yaitu:
Bab I : Pendahuluan, yang meliputi pembahasan mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II : Perkawinan Dan Permasalahannya, yang meliputi pembahasan mengenai pengertian dan dasar perkawinan, asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan, dan syarat-syarat perkawinan.
Bab III : Murtad Dan Akibatnya Terhadap Perkawinan, yang meliputi pembahasan mengenai konsepsi umum tentang murtad dan ditambahkan dengan konsepsi Islam tentang murtad dalam perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam.
Bab IV : Analisis Kasus Murtad, yang meliputi pembahasan mengenai analisis terhadap kasus yang pernah terjadi dan telah ada Keputusan Pengadilan. Analisis yang dilakukan berdasar pokok perkara, dasar pertimbangan hukum, amar (dictum dan putusaan.
Bab V : Penutup, meliputi pembahasan mengenai kesimpulan dan saran.
BAB II
PERKAWINAN DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian dan Dasar Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan berkasih sayang untuk meneruskan keturunan.
[17]
Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup berdampingan” sebagai suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang diikat oleh hukum, agar menjadi sah dan disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang wanita yang memasuki kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.
Perkawinan adalah merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut, maka orang akan berpikir terlebih dahulu untuk memdapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang di maksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.
Sebelum memasuki masalah ini lebih dalam kiranya harus dipahami terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan.
Perkawinan menurut bahasa Arab berasal dari kata al- nikah, yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.
[18]
Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua kata yang menyangkut masalah ini yaitu kawin dan nikah. Kawin menurut bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah.[19] Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin; pernikahan; pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.[20]
Pernikahan yang berasal dari kata nikah mengandung arti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.[21] Sedangkan pernikahan mengandung arti hal (perbuatan) nikah; upacara nikah.[22]
Defenisi perkawinan menurut bahasa bersenggama atau bercampur dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab bolehnya bersenggama atau bersetubuh.
[23]
Ulama berbeda pendapat tentang arti perkawinan antara lain:
Pendapat pertama, menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama).
Pendapat kedua, menyatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa hakikat dari nikah adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.
[24]
Dalam bukunya Wahbah al-Zulhaily mendefinisi-kan perkawinan adalah “akad yang telah ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”.
[25]
Defenisi perkawinan menurut pakar Indonesia juga akan dikutip di sini.
Menurut Sayuti Thalib,
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia.
[26]

Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.
[27]
Muhmud Yunus mendefinisikan perkawinan sebagai aqad antara laki isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at.[28] Sedangkan Ibrahim Hosein mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual (bersetubuh).[29]
Wiryono Prodjodikoro, dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia, memberikan pengertian Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.[30]
Defenisi lain yang dibuat oleh Lord Penzance sebagaimana yang dikutip dalam disertasi oleh Lili Rasjidi :
“I conceive that marriage, as understood in Christendom, may ... be de fined as the voluntary union for life of one man and one woman to be exclusion of all others.”
[31]

Menurut defenisi ini dapat ditarik tiga hal yang merupakan intisari dari perkawinan yaitu, perkawinan itu haruslah berdasarkan sukarela, untuk waktu seumur hidup, dan bersifat monogami.
[32]
Definisi yang dikeluarkan oleh Lord Penzance agak berlainan dengan definisi yang dikemukakan oleh Richard V. Mackay dengan rumusan sebagai berikut :
“The legal union for life of one man and one woman to discharge toward each other and toward to cammunity the duties imposed by law on persons related as husband and wife.”
[33]

Menurut Richard V. Mackay, tidak adanya keharusan untuk menyebutkan untuk seumur hidup dan penonjolan sifat monogami dari perkawinan. Tetapi keharusan adanya perkawinan dilakukan menurut tata cara yang dikehendaki oleh Undang-Undang.
[34]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan definisi tentang perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, yaitu: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
[35]
Dalam Undang-Undang Perkawinan
[36] No. 1 tahun 1974 diberi definisi perkawinan dengan,
Perkawinan adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[37]

Ikatan lahir batin yang di maksud dalam pasal tersebut mempunyai dua pengertian yang berbeda yakni, ikatan lahir dan ikatan batin. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang kelihatan, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan isteri, maupun orang lain yaitu masyarakat luas, sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak kelihatan secara langsung, merupakan ikatan psikologis yang mengikat suami dan isteri yaitu perasaan cinta dan tanpa paksaan.
[38]
Berdasarkan defenisi yang telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, masih dapat diperinci dengan tiga bagian yaitu:
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
2. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal dan sejahtera.
3. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan juga harus dilihat dari beberapa segi antara lain:
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh Q.S. an-Nisa’[IV]: 21, dinyatakan “...perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliishaan” juga dapat dikatakan bahwa perkawinan itu sebuah perjanjian dengan alasan:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Perkawinan dari segi sosial.
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui oleh suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum nikah.
3. Perkawinan dari segi agama.
Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah.
[39]
Menurut pendapat penulis pengertian perkawinan yang diberikan para pakar menunjukkan ada dua sisi penting dari perkawinan, yang pertama perkawinan adalah pengesahan hubungan seksual, dan yang kedua perkawinan adalah sebuah perjanjian.

2. Dasar - Dasar Hukum Perkawinan
Teori dasar perkawinan adalah berdasarkan teori “manusia sebagai makhluk sosial”, yang pada dasarnya manusia sangat membutuhkan manusia yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Manusia juga merupakan makhluk yang sempurna karena akal dan nuraninya, maka dalam pemenuhan kebutuhan terhadap manusia lain, manusia mengatur pemenuhan kebutuhan itu sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia yang sempurna.
Dasar hukum perkawinan yang menjadi telah hukum positif Indonesia dan masih berlaku adalah:
a. Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk.
b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
f. Keputusan Presiden RI No. 44 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen.
g. Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
h. Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah.
i. Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
j. Keputusan Menteri Agama No. 40 tahun 1991 tentang Biaya Nikah dan Rujuk Bagi Umat Islam.
k. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji No. 16 tahun 1992 tentang Pedoman Pelaksana Pegelolaan Biaya Nikah dan Rujuk Bagi Umat Islam.

B. Sejarah Undang-Undang Perkawinan.
Untuk melihat gambaran lebih rinci sejarah perundang-undangan tentang perkawinan Indonesia akan dibagi dalam tiga periode, yakni sebelum penjajahan Belanda, masa penjajahan Belanda, dan setelah kemerdekaan.
1. Sebelum Penjajahan Belanda
Sejak Islam datang ke Indonesia, selalu ada orang-orang sebagai pegawai-pegawai khusus yang dipercayai oleh masyarakat Islam, dan diserahi tugas mengurus mesjid dan perkawinan.
[40] Artinya selalu ada orang yang dipercayai untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan muncul di kalangan orang-orang Islam.
Adapun sistem penyelesaian yang persengketaan yang terjadi adalah penyelesian sengketa dalam bentuk hakam. Karena itu lembaga yang pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim.
[41] Dari lembaga tahkim ini kemudian diikuti dengan munculnya lembaga ahl al-hill wal al-‘aqd dalam bentuk peradilan adat.[42]
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, lembaga ini berubah menjadi Peradilan Swapraja, yang kemudian berubah lagi menjadi Peradilan Agama.
Untuk membuktikan lebih jauh tentang berlaku dan diterimanya hukum Islam oleh umat Islam, dapat dibuktikan dari bukti-bukti sebagai berikut pertama, Statuta Batavia 1642 yang akan menghasilan Compendium Freijer
[43], yang menyebutkan ”sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”.[44]
Kedua, dipergunakannya Kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon yang terbit tahun 1768, serta peraturan yang dibuat B.J.D. Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan.[45]
Ketiga, diterbitkan juga beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan waris di daerah kesultanan Palembang dan Banten serta diikuti oleh kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
[46]
Keempat, dikeluarkannya peraturan oleh VOC pada tanggal 25 Mei 1760 yang disebut Resolutie der Indische Regeeering.[47]
Dengan penjelasan ini dapat dikatakan bahwa telah ada peraturan perundang-undangan tentang perkawinan sejak sebelum datangnya penjajah Belanda di Nusantara yang berdasarkan hukum Islam.
2. Masa Pejajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium Freijer yaitu kitab hukum yang berisikan aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh Pengadilan VOC, atas usul Residen Cirebon Mr. P. C. Hasselaar (1757-1765) dibuat kitab Tjirebonshe Rechtboek. Sementara untuk Landraad (sekarang Peradilan Negeri) di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri (seperti berlaku Kitab Muharrar). Daerah Makasar (sekarang Ujung Pandang) oleh VOC disahkan suatu Conpendium tersendiri. Keberadaan dan berlakunya Conpendium ini diperkuat dengan sepucuk surat VOC pada tahun 1808, yang isinya memerintahkan agar Penghulu Islam dibiarkan mengurus sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
[48]
Bersama dengan itu, dasar hukum Peradilan Agama menunjukan berlakuknya hukum Islam, sebab Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling menyatakan, bahwa perkara-perkara perdata yang timbul di antara orang-orang Islam diadili oleh Peradilan Agama Islam, dan apa bila hukum adat mereka menentukannya kecuali jika oleh sesuatu Undang-Undang ditetapkan lain.[49]
Hanya saja, berdasarkan Indische Staatsregeling No. 55, pada tanggal 2 Agustus 1828, Compencium Freijer yang sebagaian diperbarui, kemudian dicabut secara berangsur-angsur pada abad ke-19. Sedang bagian terakhir, yakni mengenai warisan, baru dicabut pada tanggal 17 Februari 1913 dengan Staatblaad No. 345. Dengan demikian berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam yang tertulis dan dicakupkan dengan menampung pada Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staatsregeling yang merupakan kelanjutan dari pasal 75 redaksi lama Regerlings Reglement (R.R) tahun 1854.
Pada masa kekuasaan Belanda perkawinan diatur dalam beberapa peraturan menurut golongannya, pertama, bagi orang–orang Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek {B.w}). Kedua bagi orang–orang Tionghoa secara umum juga berlaku (Burgerlijk Wetboek {B.w}). Dengan sedikit pengecualian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Ketiga, bagi orang Arab dan Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka, ditambah untuk orang Kristen berlaku Undang-Undang Perkawinan Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java, Minahasa an Amboina {Hoci}) berdasarkan Staatblad no. 74 tahun 1933 , kelima bagi orang yang tidak termasuk ke dalam empat golongan tersebut berlaku peraturan perkawinan campuran.
[50]

3. Setelah Kemerdekaan
Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah kemerdekaan adalah Undang-Undang No. 22 tahun 1946.
[51] Undang-Undang ini diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 32 tahun 1954, yakni Undang-Undang tentang Penentapan Berlakunya Undang-Undang RI tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa Dan Madura.[52]
Keberadaan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Saatblad No. 198 tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Staatblad No. 348 tahun 1929 jo. Staatblad No. 467 tahun 1931.
Undang-Undang No. 22 tahun 1946 ini seyogyanya berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum memungkinkan baru diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Undang-Undang ini kemudian diberlakukkan di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya Undang-Undang No.32 tahun 1954.
Secara umum ada dua tahapan pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 yakni, (1) tanggal 1 Februari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura, (2) tanggal 2 November 1954 untuk wilayah lainnya, namun Wirjono menulis ada tiga tahapan, yakni (1) pada tanggal 1 Februari 1947 berlaku Undang-Undang No. 22 tahun 1946 bagi Jawa dan Madura berdasarkan Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Januari 1947, (2) bagi Sumatera mulai berlaku tanggal 16 Juni 1949, berdasarkan ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tanggal 14 Juni 1949, No.I/PDRI/KA; dan (3) bagi wilayah-wilayah lainnya tanggal 2 November 1954, berdasarkan Undang-Undang tanggal 26 Oktober 1954 No. 32 tahun 1954.
[53]
Dari pasal-pasal yang ada secara eksplisit Undang-Undang No. 22 tahun 1946 hanya mengatur tentang Pencatatan Perkawinan, Talak Dan Rujuk, yang berarti hanya menyangkut hukum acara bukan materi hukum perkawinan. Tetapi dengan adanya fungsi pengawasan perkawinan, tugas pegawai PPN juga menilai apakah ada hal-hal atau larangan yang menghalangi dilangsungkannya perkawinan, yang berarti juga termasuk materi hukum perkawinan.
Keberadaan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 diikuti dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975, adapun isi dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 terdiri atas 14 bab dan 67 pasal.
Kehadiran Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disusul dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yang kemudian disusul dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Bagi umat Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Peradilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan perkawinan Bagi Yang Beragama Islam dan No.4 tahun 1975 tentang Contoh-Contoh Akta Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk, kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221a tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil adapun isi dari Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 terdiri atas 10 bab dan 49 pasal.
[54]
Pada tahun 1983 lahir pula Peraturan Pemerintah No.10 yang mengatur Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, peraturan yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983 ini berisi 23 pasal. Adapun sejarah yang menjadi latar belakang lahirnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 adalah kasus yang terjadi pada tahun 1980, yaitu perilaku seorang pejabat negera yang menikah tanpa mencatatkan wanita yang sebelumnya adalah baby sitter dari anak sang pejabat tersebut.[55]
Kemudian pada tahun 1989 lahir Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ini diajukan dengan amanat Presiden tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan ketetapan pemerintah pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Januari 1989. Undang-Undang yang ditetapkan pada tanggal 14 Desember 1989 ini secara umum berisi tentang Peradilan Agama yang meliputi susunan pengadilan, ketetapan pengadilan dan hukum acara, namun pada bab IV hukum acara bagian kedua, pemeriksaan sengketa perkawinan (pasal 65-88) dibahas juga tentang perkawinan, khususnya menyangkut proses atau acara perceraian. Dengan demikian meskipun pada prinsipnya Undang-Undang ini berhubungan dengan struktur pengadilan agama, namun ada juga pembahasan tentang perkawinan.
Tahun 1990 keluar Peraturan Pemerintah No. 45 berisi perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, PP No. 45 tahun 1990 ini hanya berisi dua pasal.
Hanya satu tahun sesudahnya, yaitu akhir tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai Perkawinan, Pewarisan Dan Perwakafan, yang diberlakukan dengan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
[56] Dan kemudian diikuti dengan keluarnya Keputusaan Meneri Agama No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanan Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku yakni buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang kewarisan dan buku III tentang perwakafan. Buku I tentang perkawinan terdiri darri 19 bab dan 170 pasal.[57]
Undang-Undang No.1 tahun 1974 sebagai usaha ke arah pembentukan Undang-Undang perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai Teuku Mohammad Hassan. Panitia ini diberi tugas untuk meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun Rancangan Undang-Undang yang selaras dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Panitia ini berhasil menyelesaikan dua Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang telah diajukan dalam DPRGR. Satu di antaranya berupa Rancangan Undang-Undang Pokok Perkawinan yang dijadikan hukum umum bagi seluruh rakyat Indonesi tanpa memperhatikan kepercayaan agama dan kesukuannya yang diselesaikan pada tahun 1952. Rancangan lainnya adalah Rancangan Undang-Undang Pernikahan Umat Islam yang diselesaikan pada tahun 1954.
Disebabkan kelambanan panitia ini atas dari desakan tokoh dan kelompok masyarakat maka dilakukan perubahan personalia pada panitia tersebut, maka tanggal 1 April 1961 dibentuk panitia baru yang diketuai oleh Mohammad Noer Poerwosoetjipto. Langkah awal dari panitia ini adalah diadakannya konferensi BP-4 tahun 1962 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama dan seminar LPHN (sekarang BPHN) bersama Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) pada tahun 1963. Tahun 1966 DepKeh menugaskan LPHN untuk menyusun Rancangan Undang-Undang perkawinan yang bersipat nasional dengan landasan jiwa Pancasila.
Pada tanggal 22 Mei 1967 pemerintah telah menyampaikan rancangan tentang Pernikahan Umat Islam yang kemudian disusul dengan rancangan tentang Ketentuan Pokok Perkawinan pada bulan Oktober 1968. Kedua rancangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah DPRGR bersama pemerintah.
Pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden telah menyampaikan kepada DPR RI Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan dan menarik kembali Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Setahun kemudian 30 Agustus 1973 menteri Kehakiman atas nama pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah dan disusul dengan pemandangan umum fraksi-fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973.
Rancangan Undang-Undang ini mendapat reaksi yang keras setelah diajukan oleh pemerintah tanggal 16 Agustus 1973. Reaksi ini datang dari segala lapisan masyarakat dikarenakan Rancangan Undang-Undang tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. setelah terjadi lobbying antara fraksi tercapailah konsensus yang berintikan:
b. Hukum Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
c. Sebagai konsekuensi dari butir (1) di atas maka alat-alat pelaksananya juga tidak akan dikurangi atau diubah.
d. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin diselesaikan dalam RUU ini supaya didrop atau dihilangkan.
e. Pasal 2 ayat (1) RUU itu disetujui dengan rumusan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tiap-tiap perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi negara.
f. Perkawinan dan perceraian serta poligami, perlu diatur untuk mencegah kesewenang-wenangan.
[58]
Akhirnya RUU ini diputuskan oleh lembaga legislatif dengan tetap memberikan kewenangan perkawinan dalam wewenang Peradilan Agama.

C. Asas-Asas dan Syarat-Syarat Perkawinan
1. Asas Perkawinan
Di dalam perkawinan diperlukan ketentuan-ketentuan agar perkawinan itu dapat menjadi sesuatu yang bernilai. Ketentuan-ketentuan yang menjadi asas dan prinsip dari suatu perkawinan seperti yang dijelaskan atau diatur dalam pejelasan umum dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Asas-asas dan prinsip-psinsip tersebut adalah:
a. Membentuk Keluarga Yang Bahagia Dan Kekal
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadian-nya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan meterial.
b. Sahnya Perkawinan Berdasarkan Hukum Agama
Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Monogami
Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
d. Pendewasaan Usia Perkawinan
Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk mendapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
e. Mempersukar Perceraian
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluargaa yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya percaraian.
f. Kedudukan Suami Isteri Seimbang
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
[59]
Ada beberapa prinsip hukum perkawinan menurut agama Islam yang merupakan dasar perkawinan. Di antara prinsip tersebut adalah:
a. Kerelaan, persetujuan dan pilihan.
Seseorang tidak dapat dipaksakan untuk melakukan atau tidak melakukan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya itu. Dalam perkawinan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dan kerelaan dari yang mempunyai hak tersebut tanpa itu perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah.
b. Kedudukan suami isteri.
Setelah berlangsung perkawinan, maka suami isteri diikat oleh ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri. Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan isterinya, karena itu suami diberikan derajat setingkat lebih tinggi dari isterinya. Penunjukan ini bukanlah memberi arti bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita tetapi hanya menunjukan bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga.
c. Untuk selama-lamanya.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan, keturunan yang baik perlu dididik dalam keadaan ayah dan ibu dalam satu ikatan perkawinan, dan pendidikan kurang sempurna jika dididik dalam keadaan ayah dan ibu dalam perceraian. Sekalipun Islam tidak mengharamkan perceraian tetapi agama Islam menutup segala pintu yang mungkin menimbulkan perceraian atau perkawinan untuk waktu-waktu tertentu.
d. Poligami dan monogami.
Poligami adalah seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang wanita dan Monogami adalah seseorang laki-laki mengawini seorang wanita. Dalam Islam pada asasnya poligami dibolehkan bagi seorang laki-laki yang sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Ia hanya boleh beristeri satu orang saja jika ternyata ia tidak mempunyai sifat adil tersebut.

2. Syarat-Syarat Perkawinan
Sejalan dengan asas dan prinsip perkawinan tersebut, Undang-Undang Perkawinan meletakkan syarat-syarat yang ketat bagi pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut tercantum dalam bab II pasal 6 hingga pasal 12.
Pada Pasal 6 disebutkan antara lain:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin di maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
[60]

Pasal 7
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang di maksud dalam Pasal 6 ayat (6).
[61]

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
[62]

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
[63]

Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
[64]

Pasal 11
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
[65]

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
[66]

Dari pasal-pasal yang ada dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 adalah:
1. Persetujuan kedua belah pihak
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat-syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (pasal. 6 ayat (1) jo. Pasal. 16 ayat (1) KHI) persetujuan ini penting agar masing-masing suami isteri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.
Persetujuan ini juga bertujuan agar perkawinan tidak terdapat paksaan di dalammnya.
[67]

2. Izin orang tua/wali
Pada Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya izin dapat diperoleh dari :
a. wali,
b. orang yang memelihara, atau
c. keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan yang lurus ke atas (kakek-nenek) selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
[68]
Orang yang beragama Islam persoalan wali merupakan syarat yang penting untuk sahnya suatu perkawinan, yang dapat menjadi wali menurut susunannya ialah:
1) ayah,
2) ayahnya ayah atau kakek (datuk),
3) saudara lelaki yang seibu dan seayah,
4) anak saudara laki-laki yang seibu dan seayah,
5) anak saudara laki-laki yang seayah,
6) saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah,
7) saudara laki-laki dari ayah yang seayah,
8) anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah,
9) anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah,
10) anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seayah.
[69]

Bila orang-orang tersebut di atas tidak mampu menjadi wali atau menolak tanpa sebab serta alasan-alasan yang jelas, seorang penghulu dapat bertindak sebagai wali hakim.
[70]
3. Batas umur perkawinan
Batas umur yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Hal ini senada dengan prinsip perkawinan bahwa calon mempelai harus telah masak jiwa dan raganya agar terwujud perkawinan secara baik.
Namun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak konsiten karena pada Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan di bawah umur 21 tahun perlu izin dari kedua orang tua sedangkan perkawinan hanya diizinkan jika sudah berumur 19 tahun. Dapat disimpulkan bahwa di bawah kurang 21 tahun perlu mendapat izin dari kedua orang tua dan kurang 19 tahun pelu mendapat izin pengadilan.
[71]
Hal ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) yang memberikan dispensasi terhadap penyimpangan Pasal 7 ayat (1), oleh Pengadilan.
4. Tidak terdapat larangan perkawinan
Ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk melangsungkan perkawinan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan tali persaudaraan dalam Pasal 8 butir a hingga butir f.
Adakah kemungkinan pengecualian terhadap larangan tersebut? Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan tentang hal itu di dalam penjelasannya.

5. Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain
Pada Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat oleh suatu perkawinan untuk kawin lagi. Hal ini sesungguhnya merupakan akibat dari asas yang dianut oleh undang-undang ini yaitu asas monogami. Asas ini di anggap sebagai pencerminan kehendak dari masyarakat, terutama kalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan.
Namun asas ini terdapat pengecualian yang diajukan kepada pengadilan dan harus dilengkapi dengan memenuhi syarat-syarat:
1. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
[72]

Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apa bila :
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
[73]

6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami isteri yang sama yang akan dikawini
Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan ini dalam penjelasannya menyebutkan bahwa suami isteri dalam membentuk rumah tangga harus bersifat kekal, oleh karena itu suatu tindakan yang mengakibatkan terputusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Bagi orang Islam dengan sendirinya ketentuan pasal 10 ini tidak berlaku sebab undang-undang Islam membolehkan seseorang kawin-cerai sehingga tiga kali. Setelah tiga kali bercerai, baru diperbolehkan kawin lagi jika bekas isterinya telah terlebih dahulu menikah dengan orang lain. Setelah sembilan kali kawin-cerai yang ke sepuluh terlarang sama sekali.
[74]
7. Bagi janda telah lewat masa tunggu (iddah)
Iddah adalah mempunyai arti hitungan waktu atau tenggang waktu. Iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak dan waktu bagi suami dapat rujuk kepada isterinya. Dan maksud kedua adalah sebagai waktu tenggang bagi isteri untuk melakukan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
[75]
Adapun jangga waktu yang ditetapkan pada Pasal 11, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a. apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
[76]

8. Memenuhi tata cara perkawinan.
[77]
Undang-Undang Perkawinan menetapkan tentang pencatatan perkawinan dan tata cara perkawinan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Pasal 2 hingga Pasal 11. Khusus bagi mereka yang beragama Islam di samping ketentuan tersebut juga diberlakukan Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 yang menghapus berlakunya Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1955 dan Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1954.[78]

D. Pencatatan Perkawinan Dan Akta Nikah
Dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946, tanggal 21 November 1946 yang mulai berlaku di seluruh Indonesia tangal 2 November 1954, melalui Undang-Undang No. 32 tanggal 26 Oktober 1954, Lembaran Negara tahun 1954 No. 98, diatur tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk di Indonesia bagi orang Islam. Undang-Undang tersebut disebut dengan Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk.
[79]
Peraturan perundangan mengenai pencatatan nikah yang telah ada dicabut, yaitu Huwelijks Ordonnantie Stbl. 1929-348, Vorstenlandsche Huwelijks Ordonnanie Stbl. 1933-98 dan Huwelijks Ordonnantie Buitengewesten Stbl. 1932-482.
[80]
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat bahwa pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administrasi, dan bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan, dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan.
[81]
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai pencatatan perkawinan disebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara pada pasal lain disebutkan, “Perkawinaan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
[82]
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat setiap perkawinan harus dicatat”.[83]
Dalam Peraturan Pemerintah terdapat beberapa tahap dalam pencatatan perkawinan antara lain:
a. Pemberitahuan
b. Penelitian
c. Pengumuman
d. Pencatatan.
[84]
Pemberitahuan perkawinan diatur di dalam Pasal 3 hingga Pasal 5 Peraturan Pelaksanaan. Pada Pasal 3 Peraturan Pelaksanaan menentukan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan itu akan dilangsungkan.
[85]
Pemberitahuan ini harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan itu dilaksanakan misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera pergi keluar negeri untuk melaksanakan tugas negera, maka yang demikian dapat itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan dispensasi.
[86] Pengecualian terhadap jangka waktu ini dapat diberikan oleh Camat atas nama Bupati kepala daerah dengan disertai alasan yang penting.[87]
Pada Pasal 4 PP No. 9 tahun 1975 disebutkan bahwa “Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya”.[88] Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 4 ini sebagai berikut:
Pada prinsipnya untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin dilakukan maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.
[89]

Pada pasal 5 diterangkan pemberitahuan harus meliputi nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
[90]
Penelitian setelah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat dengan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Juga disertai dengan penelitian terhadap:
1. Kutipan akte kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akte kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengannya.
2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
3. Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4)dan (5) Undang-Undang apabila salah seorang calon mempelai atau kedua-duanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
4. Izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.
5. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimasksud-kan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang.
6. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau, dalam hal perceraian, surat keterangan perceraian, bagi perkawinan kedua kalinya atau lebih.
7. Izin tertulis dari pejabat yan ditunjukan oleh menteri HanKam/Pangab apabila salah seorang calon mempelai atau kedua-duanya anggota Angkatan Bersenjata.
8. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat apabila salah seorang calon mempelai atau kedua-duanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada orang lain.
[91]
Pengumuman diumum jika segala pesyaratan tentang pemberitahuan telah dipenuhi serta hasil penelitian menunjukan tidak terdapatnya halangan perkawinan. pengumuman dilakukan dengan memaparkan surat pengumuman menurut formulir yang ditentukan dan di tempatkan ada tempat yang mudah dibaca oleh umum.
Pengumuman memuat antara lain: nama, umur, agama/kepercayaan, tempat kediaman calon mempelai dan orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami terdahulu. Juga memuat hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan itu akan dilangsungkan.
[92]
Pencatatan perkawinan telah tercatat secara resmi seperti yang diterangkan dalam Pasal 11 ayat (3) jika akte tersebut telah ditandantangi oleh kedua mempelai, dua orang saksi dan pegawai pencatat perkawinan bagi mereka yang beragama Islam ditandatangani juga oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
[93]
Ada dua pandangan yang berkembang tentang pencatatan perkawinan ini pertama, pandangan yang menyatakan pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadi sebuah perkawinan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.
Dari dua pandangan tersebut perlu dilakukan suatu kajian, hal pertama adalah alasan diadakannya pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan sebenarnya harus disadari memiliki kedududkan yang sangat penting terlebih untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Dengan menggunakan kaidah “menolok bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”, pencatatan perkawinan dapat ditetapkan oleh pemerintah untuk terjaminnya ketertiban dan kepastian hukum.
E. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan dan pembatalah perkawinan bertujuan agar tidak terjadi perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan atau perkawinan yang dilarang.
1. Pencegahan Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat (1) menjelaskan “pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan”.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal l3 dinyatakan “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencengahan dimuat dalam Pasal 14 Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
[94]
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15 juga menyatakan:
“Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”.
Pejabat yang berwewenang untuk melakukan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Tata cara pencegahan perkawinan diatur dalam pasal Pasal 17 yang berbunyi:
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan di maksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pada pasal 66 dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan “Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut”.
2. Batalnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
[95]
Orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23, yang berbunyi:
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 juga menyatakan Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Tata cara pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 25 yang menyatakan Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Adapun perkawinaan yang dapat dibatalkan adalah seperti yang dicantumkan pada Pasal 26 dan 27 yang berbunyi:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
F. Putusnya Perkawinan
Di dalam Islam dikenal bermacam-macam nama tentang putusnya perkawinan (talak) yang banyak dibahas dalam buku-buku fiqh klasik. Menurut imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu’, khiyar/fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zhirah. Sedangkan imam Syafi’i menyatakan sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’ zihar dan li’an. As-sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian adalah talak, khulu’, ila’ dan zihar
Di dalam Islam putusnya pernikahan itu dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
1. Meninggal dunia
2. Talak
3. Keputusan hakim
4. Fasakh
5. Khulu’
6. Li’an
7. Ila’
8. Zihar
9. murtad.
[96]

Dari bermacam bentuk perceraian yang ada Djamil Latif mengklasifikasi perceraian sebagai berikut:
1. Kematian suami atau isteri
2. Perceraian
a. Tindakan pihak suami
1) Talak
2) Ila’
3) Zhihar
b. Tindakan pihak isteri
1) Tafwidl
c. Persetujuan kedua belah pihak
1) Khulu’
2) Mubara-ah
d. Keputusan hakim
1) Ta’lik talak
2) Syiqaq
3) Fasakh
4) Riddah
5) Li’an.
[97]

Azaf A.A. Fyzee mengklasifikasikan perceraian sebagai beriku:
1. Kematian suami atau isteri
2. Tindakan kedua belah pihak
a. pihak suami
1) Talak
2) Ila’
3) Zihar
b. Pihak isteri
Tafwidl
c. Dengan persetujuan kedua belah pihak
1) Khulu’
2) Mubara-ah
3. Proses hukum
a. Li’an
b. Fasakh
[98]

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38, putusnya perkawinan dapat dikarenakan:
1. Kematian salah satu pihak
2. Perceraian
3. Keputusan pengadilan.
[99]
Kematian salah satu pihak, dengan sendirinya perkawinan itu terputus. Pihak yang masih hidup boleh nikah lagi bilamana segala persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan yang berlaku terpenuhi sebagaimana mestinya. Jika isteri yang meninggal dunia, seorang suami boleh nikah lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian suami harus menunggu iddah sebelum dapat menikah lagi.
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.
[100]
Pada pasal 39 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatakan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasan Undang-Undang No. 1 tanun 1974 tentang Perkawinan untuk Pasal 39 dan Peraturan Pemerinah No. 9 tahun 1975 Pasal 19, dijelaskan tentang sebab-sebab dapat terjadinya perceraian antara lain:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami dan isteri.
6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
[101]
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 menambahkan dua sebab atau alasan untuk terjadinya sebuah perceraian yaitu:

1. suami melanggar ta’lik talak.
[102]
2. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[103]
Dalam bukunya Sayuti Thalib menjelaskan bentuk lain perceraian yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang digunakan sebagai usaha membatasi peceraian, yakni:
1. Talak Ta’lik.
Perkataan talak ta’lik adalah suatu talak yang digantungkan jatuhnya kepada terjadinya suatu hal yang memang memungkinkan terjadi yang telah disebutkan lebih dahulu dalam sutu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu. Adakalanya kata talak ta’lik disebutkan ta’lik talak namun mempunyai maksud yang sama, sedangkan artinya adalah hal-hal atau syarat-syarat diperjanjikan itu yang apabila terlanggar oleh suami terbukalah kesempatan mengambil inisiatif untuk talak oleh pihak isteri kalau ia menghendaki demikian.
2. Pelaksanaan talak berdasarkan syiqaq.
Syiqaq ialah keretakan yang telah sangat hebat antara suami isteri. Namun perceraian tidak diperkenakan karena semata-mata karena alasan syiqaq. Dalam keadaan syiqaq harus diadakan usaha perdamaian walaupun harus mengikutkan pihak ketiga terutama bagi keluarga sendiri.
Di dalam Al-quran surat an-Nisa’ ayat 35 menjelaskan:
“Dan jika kamu kahwatir ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakim (juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi mengenal”.

Menurut ayat ini harus ada dua orang hakam yaitu dari pihak laki-laki dan perempuan, timbul dua pendapat yang memberikan arti terhadap istilah hakam. Pendapat pertama, hakam itu hanya wakil dari suami dan wakil dari isteri, mereka hanya dapat memberi nasihat kepada suami isteri yang hidup berselisih itu supaya berdamai, atau kalau daya upaya itu ternyata tidak berhasil, menceraikan mereka, akan tetapi kalau salah satu pihak tidak mufakat, paham-paham itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pendapat kedua, hakam itu mempunyai kekuasaan seperti hakim, kalau nasihatnya tidak berhasil mereka dapat memberikan keputusannya bahkan boleh menceraikan mereka biarpun salah satu pihak tidak setuju.
[104] Pengadilan Agama mengikuti pendapat yang kedua dalam menyelesaikan syiqaq.
3. Ila’.
Ila’ adalah sumpah yang dilakukan oleh suami yaitu tidak akan mengauli isterinya. Ini adalah suatu keadaan yang terdapat dalam masyarakat di tanah Arab. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 226 menentukan orang yang melakukan ila’ (bersumpah dia tidak akan mencampuri isterinya) hendaklah dia menunggu selama empat bulan dan kalau suami itu hendak kembali terus bergaul dengan isterinya itu maka Allah akan mengampuninya (memperkenankannya).
Bentuk perceraian ini (ila’) walaupun telah diatur dalam syari’at Islam, namun di Indonesia belum pernah dialami terjadinya suatu perceraian oleh ila’, baik di dalam daftar pencatat nikah, talak dan rujuk di KUA maupun dalam daftar keputusan Pengadilan Agama.
[105]
4. Zhihar.
Zhihar adalah seorang suami bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Hal ini berarti dia tidak akan menyetubuhi isterinya itu tetapi dalam bentuk yang lebih tajam. Akibat dari zhihar ini adalah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri tersebut.
[106]
5. Fashisyah.
Fashisyah adalah kekejian atau perbuatan buruk. Dalam perkawinan umumnya diartikan perzinaan. Hazairin mengartikan fashisyah dalam arti perbuatan yang memberi malu keluarga. Hal ini senada dengan apa yang diatur di dalam pasal 19 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, yakni: berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
6. Khuluk dan Mubara-ah.
Khuluk mempunyai arti perceraian yang dilakukan berdasarkan persetujuan suami isteri yang berbentuk jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri denan adanya penebusan harta atau uang oleh isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk tersebut. Mubara-ah adalah bentuk lain dari perceraian berdasarkan persetujuan suami isteri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan dan kedua belah pihak telah merasa puas hanya denan kemungkinan terlepas dari ikatan masing-masing.
[107]
7. Fasakh.
[108]
Fasakh adalah putusnya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh Hakim Agama kerena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain, atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum dilangsungkannya perkawinan. perkawinan yang telah ada adalah sah dengan segala akibatnya, dan dengan difasakhkan ini putuslah hubungan perkawinan tersebut.
8. Li’an.
Li’an adalah putusnya hubungan perkawinan karena suami menuduh isterinya melakukan zina dan isteri menolak tuduhan itu, keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. Pelaksanan dan proses perceraian ini adalah suami mengajukan 4 orang saksi yang menyaksikan penyelewengan isteri tersebut. Kalau tidak ada saksi suami diharuskan bersumpah sebanyak lima kali. Isteri terbebas dari tuduhan itu jika isteri bersumpah sebanyak lima kali yang menyatakan ia tidak bersalah. Walaupun isteri telah bersumpah dari tuduhan itu, namun hubungan perkawinan itu putus karena li’an.
9. Murtad.
[109]
Murtad adalah salah seorang dari suami atau isteri itu keluar dari agama Islam atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka.
Salah satu di antara dari sebab perkawinan ini adalah inti pembahasan dalam tulisan ini. Namun pada persoalan murtad terdapat tambahan kata-kata yang memperlemah alasan perceraian akibat murtad, yaitu murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dalam sebuah perkawinan suami isteri diharuskan untuk saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan mateial. Karena itu dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
Dalam Islam perceraian pada prinsipnya dilarang. Ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah saw,yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al Hakim dari Ibn Umar bahwa “talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah”.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan perkawinan, yaitu:
1. Terjadi nusyuz dari pihak isteri.
Makna nusyuz adalah kedurhakaan yang dilakukan baik isteri maupun suami. Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah yang dihadapi isteri melakukan nusyuz. Di dalam surat al Nisa’ ayat 24 menjelaskan:
“Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positif dari tindakan itu, terlebih apabila sampai terjadi perceraian dan yang terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya.
b. Apabila usaha pertama berupa pemberian nasihat tidak berhasil, langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur isteri dari tempat tidur suami, meski masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan agar dalam “kesendiran tidurnya itu” ia memikirkan untung dan ruginya dengan segala akibatnya dari tindakannya itu.
c. Apabila langkah kedua tersebut tidak juga dapat mengubah pendirian isteri untuk nusyuz, maka langkah ketiganya adalah memberikan pelajaran, atau dalam bahasa al-Quran memukulnya. Para mufsir menafsirkan dengan memukul yang tidak melukai, atau yang lebih tepat adalah mendidiknya.
[110]
2. Terjadi nusyuz
[111] dari pihak suami.
Dalam surat al-Nisa’ ayat 128 dinyatakan:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suami, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu mengauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Langkah yang dihadapi nusyuz dari pihak suami adalah jika isteri telah berulang kali diingatkan suami namun tidak ada perubahan maka al-Quran mengajurkan perdamaian di mana isteri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, semua ini bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
3. Terjadinya syiqaq.
Syiqaq menurut bahasa berarti perselisihan, percekcokan, dan permusuhan. Menurut istilah syiqaq diartikan perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami isteri. Syiqaq merupakan perselisihan yang biasanya terjadi dan berawal pada kedua belah pihak suami isteri secara bersama-sama.
[112]
4. Salah pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah) yang menimbukan saling tuduh menuduh antara keduanya.
[113]
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
[114]
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang bilamana terjadi putusnya perkawinan akibat talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah
[115] yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’n atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencampai umur 21 tahun.
[116]

BAB III
MURTAD DAN AKIBATNYA TERHADAP PERKAWINAN

Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut dalam persoalan agama, sehingga menimbulkan arti bahwa agama adalah hak azasi seseorang dalam menentukan dan memilihnya.
Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam agama...”. Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan tidak ada paksaan dalam milih agama sehingga perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau diperbolehkan. Pernafsiran seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat ini menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, maka ada ikatan dan kewajiban yang harus ia lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah satunya adalah persoalan pelarangan pindah kepada agama lain (murtad) dan akibat hukumnya.
Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada kesepakatan umum bahwa ikatan perkawinan tidak dapat mengikat wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam. Tetapi timbul kesukaran bila wanita itu menjadi murtad, sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari suami yang tidak baik, yang kejam atau yang tidak mereka sukai.
Melihat fenomena yang banyak terjadi, perlu kiranya dibahas mengenai persoalan murtad dalam bab ini, yang akan diterang sejelasnya mengenai persoalan ini. Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No.1 tahung 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk memperluas pengetahuan mengenai konsepsi murtad dan hubungannya dengan perkawinan akan dibahas dalam bab ini.

A. Konsepsi Umum Murtad
Murtad yang di maksud dalam penelitian ini adalah peralihan agama atau perpindahan agama dari agama Islam kepada agama non-Islam. Namun peralihan atau perpindahan dari agama non-Islam kepada agama non-Islam bukanlah dinamakan murtad karena mereka tetap dalam keadaan kafir dan perpindahan dari agama Islam ke agama lain sama dengan pindah dari kebenaran ke wadah yang tidak benar.
[117] Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. Ali Imran [III]: 85 yang berbunyi:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.

Murtad berasal dari bahasa arab yaitu riddah yang mempunyai arti “kembali ke jalan asal”. Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah apostasy yang mempunyai arti “to retreate, to ritire, to withdraw from or fall baek from”.
[118]
Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang bukan agama. Dalam melakukan itu semua ia berakal, bisa membedakan dan sukarela tidak dipaksa.
[119]
Murtad adalah orang yang ragu-ragu yang keluar dari agama Islam yang kembali kepada ke kufuran, atau mengingkari semua ajaran Islam baik dalam keyakinan, ucapan atau perbuatan.[120]
Timbul pertanyaan kapan seorang Islam dianggap telah murtad?. Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya dalam artian telah murtad kecuali bila ia melapangkan dadanya menjadi tenteram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan kufur itu.
Dapat diartikan bahwa apa yang tersirat dalam hati itu gaib dan tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Maka untuk mengetahui kekafiran seseorang diperlukan adanya sesuatu yang menunjukkan kekafirannya sebagai bukti yang pasti dan tidak dapat ditafsirkan lagi.
Dalam masalah ini, imam Malik berkata: “jika keluar dari seseorang yang mempunyai 99 alternatif kekafiran dan satu alternatif keimanan, maka ia digolongkan sebagai orang yang beriman”.
[121]
Dalam buku Fiqhussunnah diberikan contoh-contoh yang menunjukan kepada kekafiran antara lain:
1. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Umpamanya keesaan Allah, mengingkari ciptaan Allah terhadap alam, mengingkari adanya malaikat, mengingkari kenabian Muhammad SAW, mengingkari Al-Quran sebagai wahyu Allah, mengingkari hari kebangkitaan dan pembalasan, mengingkari kefardhuan shalat, zakat puasa dan haji.
2. Menghalalkan apa yang telah disepakati keharamannya. Umpamanya menghalalkan minum arak, zina, riba, memakan daging babi, dan menghalalkan membunuh orang-orang yang terjaga darahnya.
3. Mengharamkan apa yang telah disepakati kehalalannya. Umpamanya mengharamkan makan nasi.
4. Mencaci-maki Nabi SAW, demikian pula mencaci Nabi-nabi Allah sebelumnya.
5. Mencaci-maki agama Islam; mencela al-Quran dan sunnah Nabi, dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Quran dan sunnah Nabi.
6. Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya. Ini tentu saja selain Nabi Muhammad.
7. Mencampakkan mashaf al-Quran atau kitab-kitab hadis ke tempat-tempat kotor dan menjijikan sebagai penghinaan dan menganggap enteng isinya.
8. Meremehkan nama-nama Allah, atau meremehkan perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, janji-janji-nya.
[122]
Dari contoh murtad yang ada dipaparkan di dalam Fiqhussunnah, dapat disimpulan terjadinya murtad disebabkan karena tiga sebab:
1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada berhala, menyembah bulan, batu dan lain-lain.
2. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau rasul-Nya, begitu juga memaki salah seorang Nabi Allah.
3. Itikad (keyakinan) seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru, menghalalkan zina, menghalalkan minuman arak, begitu juga mengharamkan yang disepakati ulama akan halalnya.
[123]
Murtad adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal saleh sebelumnya. Hukuman yang diancam oleh Allah Sesuai dengan firman-Nya, Q.S. al-Baqarah [II]: 217,
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Dan hadist Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menganti agamanya (Islamnya), maka bunuhlah ia!”.
Hadits lain yang membahas mengenai murtad adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Tidaklah halal darah seorang Islam kecuali ia menjalankan salah satu dari tiga perkara, yaitu:
1. Kafir setelah beriman
2. Berbuat zina setelah menjadi orang muhshan
3. Membunuh orang yang dijaga darahnya”.
B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya.
Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat mengenai larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
[124]
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
[125]
Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.[126]
Sedangkan menurut Idris Ramulyo larangan perkawinan itu antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan agama
2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat
3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
5. Larangan perkawinan polyandri
6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li’an
7. Larangan perkawinan wanita/pria penzina
8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap isteri (bekas isteri yang ditalak tiga
9. Larangan perkawinan bagi pria yang telah beristeri empat.
[127]
Di dalam Islam juga dikenal pernikahan yang tidak sah antara lain:
1. Pernikahan mut’ah, yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan waktu tertentu; sebentar atau lama.
[128] Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw di zamannya, kemudian beliau mengharamkan untuk selama-lamanya.
2. Pernikahan syiqhar, yaitu nikah tukar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar.
[129] Contoh si A menikahkan dengan putrinya dengan si B dengan syarat si B menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak menyebutkan.
3. Pernikahan muhallil, yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas isteri yang telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya itu, sehingga mereka dapat nikah kembali. Menurut Islam seorang wanita ditalak tiga dan suaminya diharamkan rujuk kepadanya, kecuali bekas isteri telah nikah dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian bercerai atau suami keduanya meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya.
[130]
4. Pernikahan orang yang sedang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang ihram dengan haji atau umrah dan belum memasuki waktu tahallul.
5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu seseorang wanita yang sedang menjalani masa iddah karena bercerai dengan suaminya atau karena suaminya meninggal dunia.
6. Pernikahan tanpa wali, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya.
7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab.
[131]
Dalam bukunya Kamal Muchtar menambahkan tentang nikah yang dilarang yaitu:
1. Nikah Tafwidh yaitu nikah yang di dalam shighat akadnya tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar oleh pihak calon suami kepada pihak calon isteri.
2. Nikah yang kurang salah satu dari syarat-syarat atau rukunnya.
[132]
Kaitan murtad dengan perkawinan beda agama. Sebenarnya, hukum perkawinan beda agama sudah umum diketahui masyarakat. Persoalan ini muncul ketika hal ini banyak dipraktekkan dan berkembang di masyarakat. Selain, masalah kemerosotan aqidah umat yang telah berlangsung, fenomena perkawinan beda agama banyak juga dipicu oleh contoh yang dilakukan kalangan artis dan selebriti, di samping itu munculnya paham sinkretis dan pluraslime menambah fenomena negatif tersebut.
Kasus terakhir tentang pernikahan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh artis Yuni Shara yang muslimah dengan Henry Siahaan yang kristen. Salah satu anggota komisi kerukunan umat beragama MUI, Adian Husaini, dengan prihatin menulis kasus ini seperti yang dimuat di harian Republika yang dikutip dalam buku Budi Handrianto yang berjudul Perkawinan Beda Agama. Berikut kutipannya:
Yuni shara resmi menikah untuk kedua kalinya. Suaminya kali ini adalah Henry Siahaan, pria yang sukses mengantar isteri pertamanya, penyanyi Nur Afni Octavia, berpendah agama menjadi kristen. Perkawinan artis yang nama aslinya wahyu setyaning Budi ini dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2002 di District’s Office di Perth, Australia. Perkawian ini kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Bekasi pada tanggal 7 Agustus 2002. Lalu pada tanggal 11 Agustus diadakan pesta perkawinan yang juga dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dan mantan perjabat seperti Gubernur Sutiyoso dan mantan Kapolri Beimantoro.

Menurut Yuni Shara, perkawinannya dengan Henry Siahaan sudah tertunda selama lima tahun. Yang anehnya kepada wartawan Henry menyatakan, “Saya saat ini menyadari, saya dan yni ini seiman. Cuma kita beda agama saja. Tetapi perbedaan agama itu harus disyukuri bukannya dijadikan penghalang”. Di dalam majalah swara cantika Edisi No. 72/2002 dikutip ucapan Henry, “yang penting bukan masuk Islam atau kristen, tapi masuk surga”.
Perkawinan Yuni Shara (muslimah) dengan Henry Siahaan (kristen) tampaknya tidak dipersoalaan media massa. Tokoh-tokoh Islam dan kalangan ulama pun seperti bungkam. Padahal perkawinan antar agama muslimah dan laki-laki non-muslim tidak mendapat tempat di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Bahkan jauh sebelumnya pada tanggal 1 Juni 1980, MUI telah mengeluarkan fatwa, “bahwa seseorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam”. Jadi dari segi hukum positif maupun hukum Islam perkawinan Yuni dan Henry itu memang tidak sah. Anehnya, mengapa pers, masyarakat dan para tokoh agama diam saja?.
[133]
Jawabannya, mungkin karena sebelumnya sudah banyak artis muslimah yang melakukan hal serupa sehingga perkawinan semacam itu dianggap sebagai hal biasa. Sebut saja nama Nurul Arifin yang merelakan dirinya dikawini Mayong Suryolaksono yang Katholik, juga Ira Wibowo yang menikah dengan Katon Bagaskara (Kristen), lalu Amara dengan Frans Lingua dan masih banyak kasus lainnya.
Kedudukan perkawinan beda agama dalam syari’at Islam. Hukum perkawinan tersebut di bagi menjadi dua yakni, perkawinan pria muslim dengan wanita non-muslim dan perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim. Wanita non-muslim terbagi berbagai macam yaitu: wanita musyrik, wanita atheis, wanita murtad dan wanita ahli kitab.
[134]
Al-Jaziry membedakan orang-orang non-muslim atas tiga golongan:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi. Mereka adalah penyembah berhala. Orang murtad disamakan dengan mereka.
b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi. Mereka adalah orang-orang Majusi yang menyembah api, mereka mengubah-ubah kitab yang diturunkan kepada mereka dan membunuh nabi mereka dari Zaradusyta.
c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang Yahudi yang percaya kepada kitab Taurat dan orang-orang Nasrani yang mempercayai taurat dan injil.
[135]
Sementara Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-muslim atas golongan musyrik, murtad, baha’i, dan ahlu kitab. Musyrik adalah orang yang penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah golongan yang keluar dari Islam, baha’i termasuk ke dalam golongan murtad dan ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani.[136]
Dari pengolongan ini timbul pertanyaan mengenai murtad, apakah mereka tidak termasuk musyrik ataukah masuk ke dalam golongan musyrik. Dalam permasalahan ini ada berbagai pandangan sehingga timbul perbedaan apakah hukum menikahi mereka.


1. Hukum menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.
Seluruh ulama sejak masa sahabat sampai abad modern ini dan insya Allah sampai hari kiamat sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria non-muslim. Pada Q.S. al-Baqarah ayat 221 menunjukan keharamannya. Keharaman itu mutlak artinya wanita Islam secara mutlak haram menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik itu laki-laki musyrik atau ahli kitab.
Perintah ini ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki yang tergolong kafir musyrikin, keharaman ini tidak ada pembatasan atau pengikatnya.
Sayyid Quthb mengatakan bahwa pertimbangan keharaman tersebut adalah kekuasaan isteri berada di tangan suami. Menurut kaidah dan budaya manapun, suami adalah pemimpin dan kepala rumah tangga yang berhak dihormati, dipatuhi dan ditaati oleh seluruh anggota keluarga termasuk isteri.
[137]
Dengan suami kafir yang menjadi kepala rumah tangga maka ia bisa saja memaksa isteri dan anak-anaknya baik secara halus maupun kasar untuk berpindah agama.
Selain ulama sepakat, pemerintah dunia Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga pernah mengeluarkan memorendum tentang HAM yang isinya menolak pasal 16 ayat 1 dari Universal Declaration of Human Rights. Pasal itu berbunyi, “pria dan wanita dewasa tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan atau agama memiliki hak untuk kawin dan membuat suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak yang sama perihal perkawinan selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.” Dalam memorandum OKI ditekankan bahwa harus ada “kesamaan agama” bagi muslimah. Ditegaskan perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim dan kesatuan agama bagi setiap muslimah.
[138]
2. Hukum menikah pria muslim dengan wanita bukan Islam.
a. Dengan wanita musyrik
Agama Islam melarang seorang pria muslim kawin dengan wanita musyrik, yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembah berhala, dewa-dewa atau ruh-ruh (animisme). Secara mutlak hukum perkawinan dengan wanita musyrik adalah haram. Sesuai dengan Q.s. al-Baqarah ayat 221.
Ayat dalam surat al-Baqarah ini turun di Madinah berkenaan dengan sebuah peristiwa yang menyangkut sahabat Nabi saw bernama Kunnaz bin Hashim al Ghanawi. Ia juga dijuluki Martsad bin Abi Martsad. Kunnaz diutus Rasulullah saw membawa satu misi. Di Mekah ia mengenal seorang wanita bernama ‘Inaq yang dicintainya sejak zaman jahiliah pra Islam tempo dulu.
[139]
Kunnaz datang menemui ‘Inaq dan memberitahukan kepadanya bahwa Islam telah melarang apapun yang dulu biasanya dilakukan di zaman jahiliah. Lantas wanita itu menjawab “kalau begitu, kawinilah aku.” Kunnaz menjawab “aku akan minta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah.” Setelah sampai ke Madinah Kunnaz menanyakan hal itu kepada Rasulullah beliau menjawab “kamu tidak boleh mengawini perempuan musyrik itu sebab kamu adalah seorang muslim dan ‘Inaq adalah seorang musyrik.” Maka turunlah ayat ini.[140]
Dalam ayat lain Allah juga menyatakan larangan-Nya seperti dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:
“...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir...”

ayat ini menambah dan memperkuat dalil dilarangnya kaum muslimin untuk menikahi wanita musyrikah. Para ulama telah sepakat bahwa mengawini wanita musyrikah hukumnya haram dengan tidak ada perselisihan.
b. Dengan wanita atheis
Perkawinan seorang muslim dengan wanita atheis hukumnya haram. Hal ini berdasarkan mafhum dari surat al-Baqarah ayat 221. Seorang atheis sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian ia tidak mempunyai agama, tidak mempercayai hari akhir, kitab suci maupun nabi-nabi Allah.
Apabila seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita musyrikah penyembah berhala yang secara umum masih mengakui adanya Tuhan, maka sudah tentu mengawini wanita atheis lebih buruk keharamannya.
[141]
c. Dengan wanita murtad
Mengawini wanita murtad hukumya juga haram. Yusuf Al Qardhawi menyamakan wanita murtad dengan wanita musyrikah yang haram untuk dikawini. Seorang wanita yang murtad dari agama Islam dipandang tidak beragama sekalipun ia pindah kepada agama samawi. Sehingga menikah dengan wanita yang tidak beragama samawi tergolong musyrikat dan termasuk ke dalam larangan umum. [Q.S. al-Baqarah ayat 221].
Perbuatan murtad adalah dosa besar. Orang murtad tidak berhak mendapat bantuan apapun dari masyarakat Islam, tidak boleh melakukan perkawinan dengan mereka, baik baru berumah tangga maupun melanjutkannya.
Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Tentu setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat, “Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah ia”. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi.
[142] Berarti wanita yang murtad seyogianya dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islam diterapkan. Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu dibunuh.
Seorang muslim tidak diperbolehkan mengawini golongan murtaddah ini karena pada hakikatnya mereka sudah tidak punya hak untuk hidup. Apabila murtadnya di tengah-tengah perkawinan maka perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Ia harus diceraikan. Jadi apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami atau isteri keluar dari agama Islam menuju agama apapun atau sama sekali tidak beragama, maka perkawinannya menjadi batal.
Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama, ada beberapa hukum penting yang wajib menjadi perhatian:
1) Jika suami isteri keduanya kafir kemudian masuk Islam secara bersama-sama, maka mereka tetap dalam perkawinan yang lalu. Artinya tidak perlu mengulang kembali akad nikah secara Islam. Hal tersebut dikecualikan apabila perkawinan yang lalu tersebut dipandang dari agamanya yang lama tidak sah.
2) Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam maka:
a) Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-laki tersebut masuk Islam sedang wanitanya tidak maka keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini karena dalam Islam menurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa melanjutkan rumah tangganya.
b) Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah satunya masuk Islam maka perkawinannya menjadi batal. Apabila salah satu masuk Islam sebelum masa idddah selesai maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun apabila yang satu lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru.
c) Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya bukan ahli kitab, kemudian sang wanita masuk Islam sebelum terjadinya hubungan badan, maka perkawinan mereka menjadi batal.
d) Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila masuk agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau tidak beragama, maka keduanya harus dipisahkan karena perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk Islam kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah maka adanya harus diulang lagi.
[143]
d. Dengan wanita penerima kitab selain ahli kitab
Di negara Indonesia dikenal berbagai agama selain Islam. Ada Kristen-Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Pada masa orde baru, umat Islam hidup berdampingan dengan mengakui agama mereka sebagai agama resmi yang akui negara yang mereka mempunyai kitab dan nabi.
Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah menikah dengan wanita dari golongan mereka? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengawini wanita dari golongan mereka adalah haram, meskipun yang mereka punyai kitab yang berisi kebaikan-kebaikan atau berisi kata-kata bijak dan mempunyai nabi yang diakui sebagai perintis agama tersebut, keberadaan mereka termasuk di dalam golongan musyrik karena di dalam al-Quran maupun sunnah yang menjelaskan keberadaan mereka, maka kembali kepada hukum umum, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Quran bahwa orang kafir selain ahli kitab adalah musyrik.
e. Dengan wanita ahli kitab.
Banyak sekali perbedaan pandangan ulama dalam penikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Perbedaan ini timbul karena kedudukan dari wanita ahli kitab.
Padangan ulama tentang hukum menikahi kitabiyah terbagi atas tiga golongan
1) golongan yang menghalalkan
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini jumhur ulama. Pendirian golongan ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a) Firman Allah Q.S. al-Maidah ayat 5.
“...wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik...”. Ayat ini menunjukan tentang menghalalkan menikahi perempuan ahli kitab.
b) Sejarah menunjukan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi perempuan ahli kitab, hal ini menunjukan pula bahwa menikahi perempuan ahli kitab itu halal hukumnya.
Di antara golongan yang memandang halal menikahi perempuan ahli kitab adalah mereka yang telah membayar jizyah dan bukan ahli kitab yang tidak membayar jizyah karena tetap berlaku padanya hukum perang menurut surat at-Taubah ayat 29.
[144]
Menurut qaul mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, perempuan ahli kitab yang halal dinikahi oleh muslim ialah perempuan yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagaimana agama nenek moyang mereka tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul (yakni sebelum al-Quran diturunkan). Tegasnya orang baru yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah al-Quran diturunkan tidaklah dianggap ahli kitab, karena terdapat perkataan min qablikum (dari sebelum kamu) dalam ayat 5 surat al-Maidah. Jadi menurut mazhab Syafi’i mengakui ahli kitab bukan karena agamanya tetapi menghormati asal keturunannya.[145]
2) Golongan yang mengharamkan
Golongan kedua ini berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab haram hukumya, Umar r.a. termasuk dalam golongan ini. Adapun alasan yang dipegang oleh golongan ini:
a) Firman Allah Q.S. al-Baqarah [II]: 221, yaitu “dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman...”.
b) Firman Allah Q.S. al-Mumtahinah: 10, yaitu “...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...”
Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi perempuan-perempuan kafir, ahli kitab termasuk golongan orang kafir musyrik karena Yahudi menuhankan ‘Uzer dan orang Nasrani menuhankan Isa ibnu Maryam, di mana dosa syirik tidak diampuni oleh Allah, jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT, sebelum mereka mati.
Adapun ayat Q.S. Al-Maidah [V]: 5, menurut golongan ini hendaklah diihtimalkan kepada perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam atau diihtimalkan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
3) Golongan yang menghalalkan tetapi siasat tidak menghendakinya.
Golongan ini berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab halal hukumnya tetapi siasat tidak menghendakinya. Pandangan ini berdasarkan bahwa Umur pernah berkata kepada para sahabat Nabi yang menikahi perempuan ahli kitab: “ceraikanlah mereka itu!” perintah ini dipatuhi oleh para sahabat Nabi kecuali Huzaifah. Maka Umar mengulangi perintahnya agar Huzaifah menceraikan isterinya, lantas Huzaifah berkata: “Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya haram?” umar berkata: “Dia akan menjadi fitnah. Ceraikanlah!”
Yusuf Qardhawi dalam fatwanya memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila seorang pria muslim hendak mengawini wanita ahli kitab:
a. Wanita ahli kitab tersebut diyakini betul-betul ahli kitab yaitu mereka yang beriman kepada agama Yahudi dan Nasrani. Artinya secara garis besar dia beriman kepada Allah, beriman kepada kerasulan dan beriman kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad dari agamanya dan bukan pula orang yang beriman kepada suatu agama yang tidak mempunyai hubungan dengan langit sebagaimana yang sudah dikenal.
b. Wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya (muhshanat).
c. Wanita ahli kitab tersebut bukan golongan mereka yang memusuhi dan memerangi umat Islam.
d. Sang suami harus lebih dari sang isteri. Lebih dari segi ekonomi, pendidikan, daya nalar serta kuat imam Islamnya. Hal ini menjaga agar pria muslim tidak akan tergoda dan terlena sehingga ia melepaskan aqidahnya dan beralih kepada agama sang isteri.
e. Masalah kemudharatan. Jika lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya maka sebaiknya ditinggalkan.
[146]
Di Indonesia persoalan perkawinan beda agama ini telah disikapi oleh Majelis Ulama Indonesia dengan mengeluarkan fatwa MUI tentang Perkawinan campuran yang disadur secara lengkap:
Bismillahirrahmanirrahim
Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980, setelah:
Mengingat:
1. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. (larangan itu karena) mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan ijin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil perlajaran.” (al-Baqarah:221)

2. Firman Allah:
”(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (al-Maidah: 5)

3. Firman Allah:
“...Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)orang-orang kafir. Mereka (wanita-wanita muslimah) tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka...” (al-Mumtahanah: 10)

4. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (at-Tahrim: 6)

5. Sabda Nabi Muhammad:
“Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia taqwa kepada Allah dalam sebahagian yang lain.” (HR. Tabrani)

6. Sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i:
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapaknyalah yang menjadikan (beragama) Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Aswad bin Sura’i)

Memutuskan:
Memfatwakan:
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
Persoalan perkawinan beda agama seringkali diremehkan dengan menggunakan taktik murtad. Dan biasanya untuk mengakali pihak keluarga atau catatan sipil, sang suami pura-pura masuk Islam. Orang tua akan merasa senang karena sang anak bisa menarik calon suaminya memeluk agama Islam, demikian pula dengan keluarganya. Hal demikian ini juga tidak selalu mulus karena belum tentu keluarga pasangan pria menerima murtadnya salah satu keluarga mereka.
Setelah selesai menikah beberapa bulan atau tahun sang suami pindah ke agama semula. Perbuatan pindah agama sementara itu, apakah hanya untuk melegalisasi perkawinannya atau punya tujuan lain seperti kristenisasi, tidak akan berhasil andai kata sang isteri yang muslimah punya pendirian yang teguh.
Telah diketahui bahwa ulama sepakat bahwa riddahnya atau murtadnya (keluar dari agama Islam) seseorang dari suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau termasuk fasakh.
Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya seseorang dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan Pengadilan Agama. “Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam”
C.Akibat Perkawinan Dengan Golongan Murtad
Banyak orang tidak menyadari resiko dari sebuah perbuatan, bekenaan dengan hukum Islam. Hal tersebut bisa dipahami karena hukum Islam sekarang ini memang tidak diterapkan. Artinya baik hukum Islam yang menyangkut masalah pidana apalagi perdata tidak dikenai sangksi apabila ada yang melanggar.
Buktinya perkawinan beda agama (murtad salah satunya) masih terus berlangsung, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan mengakui bahwa perbuatannya itu tidak apa-apa.
Perkawinan beda agama (murtad) akan menimbulkan akibat, diantara yang pasti adalah:
1. Perzinaan
Seseorang yang melakukan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh Islam maka perkawinannya tidak sah. Perkawinan wanita muslimah dengan pria non-muslim (murtad) adalah perkawinan yang termasuk tidak sah karena syarat agama tidak terpenuhi dan di dalam Islam sepasang manusia yang tidak terikat perkawinan melakukan hubungan biologis hukumnya adalah berzina.
2. Waris
Suami isteri yang berbeda agama, yang perlu diketahui oleh khalayak umum adalah mereka tidak saling menerima harta waris. Meskipun pasangannya kaya raya dengan harta berlimpah dan yang dia tidak mempunyai saudara lain kecuali isterinya (baik sah maupun tidak) maka pasangannya tidak berhak mewaris hartanya. Rasulullah pernah bersabda mengenai hal ini yaitu, “tidak saling menerima waris orang yang berbeda agama”. (HR. Muslim).
3. Nasab anak (garis keturunan)
Sebagaiman waris nasab anak pun tidak bisa disandarkan kepada ayahnya. Perkawinan yang tidak sah, anak yang dihasilkan sama dengan anak hasil perzinaan. Nasabnya hanya bisa disandarkan kepada ibunya yang telah mengandung dan melahirkannya. Bapak kandungnya apakah ia muslim atau kafir adalah bukan bapak yang sah karena perkawinannya tidak sah.

4. Perwalian.
Seseorang yang murtad tidak lagi mempunyai hak menjadi wali terhadap perwaliannya. Oleh sebab itu dia tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuannya dan tidak pula bagi anak laki-lakinya yang belum akil baligh. Semua akad yang dilakukannya dianggap batal, karena hak kewaliannya menjadi gugur disebabkan kemurtadannya itu.
5. Pengurusan jenazah
Pengurusan jenazah bagi salah satu pasangan perkawinan tidak sah yang meninggal memang bukanlah hal yang krusial dalam masalah hukum Islam. Apabila ia masih beragama Islam maka dimakam secara hukum dan tata cara Islam. Tidak peduli dosa sebesar apapun yang telah dilakukannya. Umat Islam wajib mengurusnya sebagai bentuk kewajiban umum (fardhu kifayah).
Mengapa pengurusan jenazah perlu dikemukkan disini? Sebab tidak semua orang tahu apabila ada perkawinan beda agama salah satu pasangan yang beragama Islam meninggal. Biasanya kalau pasangan beda agama sudah menjalani perkawinan bertahun-tahun, orang sudah tidak peduli ia beragama apa. Pada saat pasangan yang muslim meninggal, sementara orang-orang yang di sekelilingnya beragama non-muslim tidak ada yang mengurusnya, bahkan, jangan-jangan penguburannya dilaksankan dengan tata cara non-Islam. Sulamiman Rasjid dalam bukunya menerangkan bahwa apabila orang murtad sudah dihukum mati, ia tidak boleh dimandikan, tidak shalatkan, dan tidak dikuburkan di perkuburan orang Islam
6. Hubungan sosial kemasyarakatan
Bagi seorang muslim yang menjalani perkawinan yang tidak sah, masyarakat akan mengucilkan dirinya dan keluarganya. Masyarakat muslim saat ini, terutama di daerah perdesaan masih sangat sensitif kalau ada pasangan beda agama, apalagi jika pasangan muslim tersebut sampai pindah agama ikut suami atau isterinya.
Masyarakat masih menganggap hal tersebut sebagai aib baginya. Kalaupun tidak mengucilkan mungkin masyarakat tidak akan mempergaulinya dengan baik.
Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk adalah kemurtadan(ar-riddah), kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli. Musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada pada pemeluk Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi: “...mereka tidak henti-hentinya, memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup...”.
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217 yang berbunyi: “...barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaan kepada negera lain, kaum yang lain.
[147]
Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya.[148]
Islam memenerapkan sikap yang tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelaku menyatakan kemurtadan diri mereka, dan menjadi pembantu pihak lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas masyarakat dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya.
Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda dan menumpahkan darah.
[149]
Penulis menulis ini diakhir bab sebagai renungan tentang bahayanya murtad dan akibat yang akan diakibatkan oleh murtad, usaha untuk menekan angka murtad harus dilakukan sejak dini oleh para ulama dan generasi muda Islam.
BAB IV
ANALISIS KASUS MURTAD

Dalam bab IV ini penulis akan menganalisa kasus murtad yang terjadi dalam perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, kasus ini penulis dapatkan dari pencarian data ke Pengadilan Agama Jakarta pusat dan Jakarta Selatan. Dari kasus yang penulis dapatkan, penulis akan menganalisa yang dimulai dari duduk perkara, pertimbangan hukum dan putusan yang telah diambil oleh Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus yang terjadi.
Dalam analisis ini penulis akan mengambil dua kasus yang terjadi dalam rincian sebagai berikut:
A. Kasus Pertama
Kasus tentang persoalam murtad di dalam perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum Islam terdapat dalam putusan dengan nomor putusan 466/pdt.G/2001/PA.JP yang telah diputuskan di Pangadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 16 Januari 2002 M yang bertepatan dengan tanggal 2 Zulqaedah 1422 H.
Perkara ini terjadi antara Dra. “E” binti “AL” sebagai penggugat dan “DS” bin “FS” sebagai tergugat.
Dra. “E” binti “AL” yang berumur 38 tahun, Agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta yang bertempat tinggal di jalan Petojo Sabangan XI/39A Rt. 021/04 Kelurahan Petojo Selatan Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
“DS” bin “FS” berumur 45 tahun, Agama Kristen, bertempat tinggal di jalan Petojo Sabangan XI/10A Rt. 018/04 Kelurahan Petojo Selatan Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
1. Duduk perkara
Di dalam duduk perkara disebutkan bahwa Dra. “E” binti “A” telah mengajukan gugatan cerai terhadap “DS” bin “FS”, dengan alasan sebagai berikut:
a. Penggugat dan tergugat telah melangsungkan perkawinan secara Islam pada tanggal 21 September 1990 yang telah dicatat pada Kantor Urusan Agama kecamatan gambir, Jakarta Pusat, sesuai dengan bukti kutipan akta nikah Nomor: 243/18/IX/1990 (bukti P-1) dengan status penggugat perawan dan tergugat jejaka.
b. Penggugat dan tergugat sebagai suami isteri telah memilih tempat kediaman bersama yang terakhir di Cinere jalan Ismaya I No. 39 Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Depok.
c. Sebagai suami isteri antara penggugat dan tergugat telah melakukan hubungan suami isteri dan telah di karuniai 2 (dua) orang anak, masing-masing bernama:
1) Kenny Ellanto, berumur 10 tahun.
2) Nicky Maninda, berumur 8 tahun.
Dan anak-anak tersebut sekarang berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat.
d. Semula rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan harmonis, akan tetapi mulai tahun 1995 rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi pertengkaran, hal tersebut disebabkan tergugat kembali ke Agama semua, dan memang tergugat sebelum menikah beragama Kristen. Tetapi ketika hendak menikah tergugat masuk Agama Islam, namun tergugat tidak pernah melaksanakan kewajibannya sebagai muslim, penggugat telah berusaha untuk menasehatinya, akan tetapi tidak berhasil.
e. Sekitar bulan maret 2001 penggugat bermaksud memperbaiki rumah tangganya dengan syarat agar tergugat menjalankan syari’at Islam, akan tetapi tidak berhasil.
f. Pada saat itu pula telah terjadi pertengkaran yang mengakibatkan tergugat pergi meninggalkan penggugat dengan seizin penggugat, tetapi kadang-kadang tergugat masih datang untuk melihat anak-anaknya.
g. Keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat yang demikian itu menyebabkan penggugat menderita lahir dan batin, akhirnya penggugat merasa tidak sanggup lagi membina rumah tangga bersama tergugat.
h. Bahwa 2 (dua) orang anak hasil perkawinan antara penggugat dan tergugat karena masih di bawah umur, dan masih sangat memerlukan kasih sayang dan pendidikan dari seorang ibu, juga mengingat demi masa depan dan agama anak-anak tersebut, maka penggugat mohon anak tersebut berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat.

2. Tuntutan
Maka dengan dasar hal-hal dan alasan-alasan tersebut di atas penggugat mohon agar Pengadilan Agama Jakarta Pusat berkenan memanggil dan memeriksa para pihak dipersidangan, dan selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
2) Menceraikan perkawinan antara penggugat dan tergugat, dan menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian.
3) Menetapkan dan menyatakan anak-anak hasil perkawinan antara penggugat dan tergugat bernama:
a) Kenny Ellanto, berumur 10 tahun.
b) Nicky Maninda, berumur 8 tahun.
Berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat.
4) Menetapkan beban biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5) Mohon putusan dari Pengadilan Agama dengan putusan yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang ditetapkan penggugat dan tergugat datang menghadap di persidangan dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara namun tidak berhasil lalu pemeriksaan dimulai dengan membacakan gugatan yang isinya tetap dipertahankannya.
Menimbang, bahwa terhadap gugatan penggugat tersebut, tergugat telah menyampaikan jawaban sebagai berikut:
1. Benar tergugat dan penggugat menikah tanggal 21 September 1990.
2. Benar antara tergugat dan penggugat mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran semenjak tergugat pindah agama Kristen, di samping itu sejak tergugat tidak bekerja, penggugat tidak mau lagi menerima tergugat sebagai pengganguran.
3. Benar penggugat mengajak tergugat ke Mekkah (haji), tetapi tergugat tidak mau sehingga penggugat pergi sendiri tahun 2001.
4. Tidak benar tergugat yang pergi meninggalkan penggugat dan anak-anak tetapi karena hasil rapat keluarga penggugat maka tergugat yang harus pergi karena tergugat tidak mau kembali ke Islam.
5. Tergugat tidak mau cerai dari penggugat karena perinsip dalam agama tergugat bahwa cerai itu atas kehendak Tuhan.
6. Tergugat tidak keberatan anak-anak dalam asuhan penggugat.
Menimbang, bahwa terhadap jawaban tergugat tersebut, penggugat mengajukan repliknya secara lisan sebagai beriku: bahwa penggugat mengajukan cerai bukan karena tergugat pengangguran tetapi karena tergugat telah pindah agama dan tergugat dalam dupliknya yang disampaikan secara lisan tetap pada jawabannya.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan gugatan penggugat telah mengajukan bukti surat berupa:
1. Foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor 243/18/IX/90 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, tanggal 21 September 1990 dan telah dinasegalen oleh pejabat yang berwewenang dan dicocokan dengan aslinya (P-1).
2. Foto copy akta kelahiran No. 9193/u/JP/1993 yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil tanggal 10 November 1993.
3. Foto copy akta kelahiran No. 5322/JP/1991 yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil Jakarta Pusat tangal 8 Juli 1991.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah pula mendengar keterangan keluarga kedua belah pihak atas nama:
1. “EM” binti “AL”, berumur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan Petojo Sabangan XI Rt.012 Rw.04 No. 23 Kelurahan Petojo Selatan Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
a. Saksi adalah adik kandung penggugat.
b. Penggugat dan tergugat pindah tempat tinggal sekitar 1 tahun yang lalu.
c. Tergugat pergi meninggalkan penggugat karena tergugat kembali ke agama Katolik.
d. Keluarga sudah berusaha merukunkan penggugat dan tergugat tetapi tidak berhasil.
2. “S” binti “HA”, berumur 36 tahun, agama Islam, bekerja sebagai ibu rumah tangga, tempat tinggal di jalan Ismaya I Rt.03/07 No. 16 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo, Kodya Depok yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:
a. Saksi tetangga dari penggugat.
b. Penggugat dan tergugat tidak harmonis karena perbedaan agama di mana setiap minggu tergugat pergi ke Gereja.
c. Penggugat dan tergugat pisah sekitar 2 tahun yang lalu.
d. Penyebab pisah karena tergugat kembali ke agamanya semula.
e. Penggugat dan tergugat sudah sulit dirukunkan karena adanya perbedaan agama.
3. Pertimbangan hukum
Menimbang, bahwa penggugat dan tergugat telah menyatakan tidak keberatan dengan keterangan saksi-saksi tersebut.
Menimbang, bahwa tergugat yang telah diberikan kesempatan untuk menghadirkan keluarganya telah menyatakan tidak akan mengajukan keluarganya.
Menimbang, bahwa penggugat dan tergugat telah menyatakan cukup dengan keterangannya dan tidak akan mengajukan sesuatu apapun lagi dan mohon putusan.
Menimbang, bahwa untuk menyingkatkan uraian putusan ini maka semua peristiwa hukum yang tercantum dalam berita acara sidang perkara ini merupakan bahagian dari putusan.
Di dalam bagian hukumnya dijelaskan antara lain:
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat seperti tersebut di atas.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan penggugat dan tergugat namun tidak berhasil.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat (P-1) yang diakui oleh tergugat telah terbukti bahwa penggugat dan tergugat terlah terikat dalam perkawinan yang sah pada tanggal 21 September 1990 oleh karenanya keduanya mempunyai kualitas hukum untuk bertindak sebagai pihak-pihak dalam perkara ini.
Menimbang, bahwa penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap tergugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan tergugat kembali ke agamanya semula.
Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan penggugat, tergugat dalam jawabannya mengakui bahwa benar antara tergugat dan pengggugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran semenjak tergugat kembali ke agama Kristen yang telah tergugat anut sebelum menikah dengan penggugat dan di samping itu perselisihan juga disebabkan karena tergugat tidak mempunyai pekerjaan.
Menimbang, bahwa pengakuan tergugat terhadap dalil gugatan penggugat secara bulat dan murni di depan persidangan menurut ketentuan pasal 174 HIR jo Pasal 19 25 KUH perdata merupakan bukti sempurna.
Menimbang, bahwa berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat yang berupa pengakuan dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi di persidangan Majelis Hakim telah menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Sejak tahun 1995 tergugat telah kembali ke agama Kristen dan melakukan kegiatan keagamaan yang dianutnya saat ini.
2. Semenjak itu antara penggugat dan tergugat sudah tidak sejalan lagi dalam menjalankan bahtera rumah tangga karena sudah tidak mempunyai agama yang satu yakni agama Islam yang selama ini dianut setelah menikah.
3. Karena tidak sejalan lagi dalam menjalankan bahtera rumah tangga antara maka antara penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sifatnya terus menerus sehingga tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga yang dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Antara penggugat dan tergugat sudah pisah tempat tinggal sekitar 1 tahun yang lalu dan sudah tidak saling urus lagi sehingga sudah tidak ada ikatan bathin di antara keduanya.
b. Penggugat tetap memperlihatkan tekadnya untuk bercerai meskipun tergugat menyatakan tidak mau bercerai, namun tidak mau berusaha untuk rukun kembali dengan penggugat dan tetap pada prinsipnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
c. Keluarga pengggugat sudah berusaha merukunkan penggugat dan tergugat namun tidak berhasil.
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa pernikahan penggugat dan tergugat telah pecah dan sulit untuk dapat mewujudkan rumah tangga bahagia sebagaimana yang dikehendaki Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, oleh karenanya memutuskan perkawinan keduanya akan lebih bermanfaat bagi keduanya dan keluarga masing-masing dari membiarkan keduanya terikat dalam suatu perkawinan yang tidak mendatangkan kebahagiaan.
Menimbang, bahwa berdasarkan semua yang telah dipertimbangkan di atas, maka gugatan penggugat telah sesuai dengan ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f dan huruf h Kompilasi Hukum Islam dan oleh karenanya dapat dikabulkan.
Menimbang, bahwa penggugat selain mengajukan gugatan cerai secara kumulasi juga mengajukan gugatan pemeliharaan atas nama: Kenny Ellanto dan Nicky Maninda untuk dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Menimbang, bahwa gugatan penggugat tentang pemeliharaan anak telah sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf a dan 156 huruf a Kompilsi Hukum Islam dan sudah mendapat persetujuan tergugat oleh karenanya dapat dikabulkan.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dapat ditetapkan bahwa anak yang bernama Kenny Ellanto dan Nicky Maninda berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, gugatan penggugat dapat dikabulkan seluruhnya.
Menimbang, bahwa karena perkara ini merupakan perkara perkawinan, maka berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 tahun 1989 biaya perkara dibebankan kepada penggugat.
Memperhatikan semua pasal peraturan perundangan-undangan yang berlaku serta hukum syara’ yang berkenaan dengan perkara ini.
4. Memutuskan
Dan akhirnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengadili perkara ini dengan putusan:
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
b. Menjatuhkan talak satu bain suqhro tergugat (“DS” bin “FS”) terhadap penggugat (Dra “E” binti “AL”) dan menyatakan putus perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian.
c. Menetapkan hak pemeliharaan dan pengasuhan anak atas nama Kenny Ellanto dan Nicky Maninda berada dalam asuhan pengggugat.
d. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini sebesar Rp. 206.500,- (dua ratus enam ribu lima ratus rupiah).
5. Analisis kasus
Dari kasus ini penulis ingin melakukan analisis yang menurut penulis dapat memberikan penjelasan yang lebih dalam lagi tentang persolan murtad.
Di dalam Pengadilan Agama dikenal asas-asas Peradilan Agama yang antara lain: asas personalitas ke Islaman; asas kebebasan; asas wajib mendamaikan; asas sederhana, cepat dan biaya ringan; asas persidangan terbuka untuk umum; asas legalitis; dan asas aktif memberikan bantuan.
Berdasarkan asas personalitas ke Islaman, mempunyai arti bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam. Penganut agama lain di luar agama Islam atau yang non-Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.
Personalitas ke Islaman diatur di dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1, ditemukan penegasan yang melekat bersamaa dengan asas ini adalah:
a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
b. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadeqah.
c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Berdasarkan asas personalitas ke Islaman ini, kasus ini terdiri dari penggugat yang beragama Islam dan tergugat yang beragama Kristen. Apakah menjadi kewenangan peradilan agama atau menjadi kewenangan peradilan umum ?.
Jawabannya adalah surat Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, isi pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan. Berarti seseorang yang melangsungkan perkawinan secara Islam, perkaranya tetap menjadi wewenang Pengadilan Agama sekalipun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi.
Asas personalitas ke Islaman terpenuhi dalam penyelesaian sengketa perkawinan (perceraian) yang laksanakan menurut hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasarkan agama yang dianut pada saat sengketa terjadi. Jadi ikatan perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum Islam, kemudian pada saat sengketa terjadi salah seorang telah beralih agama dari Islam menjadi penganut agama lain, yurisdiksinya tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Pada kasus ini telah terpenuhi asas personalitas ke Islaman dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya Foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor 243/18/IX/90 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, tanggal 21 September 1990 dan telah dinasegalen oleh pejabat yang berwewenang dan dicocokan dengan aslinya (P-1).
Asas wajib mendamaikan juga dilaksanakan dalam kasus ini yang telah tercantum dalam putusan ini. Dasar dari asas wajib mendamaikan telah diatur di dalam UU NO.7 tahun 1989 Pasal 65 dan 82, juga terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, dan Peraturan Pemerintah NO. 9 tahun 1975 Pasal 31. Peraturan Pemerintah NO. 9 tahun 1975 Pasal 31 tampak lebih sempurna rumusannya yang berbunyi:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan
Pada pasal 65 UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi, “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Dari segi Hukum Acara, pada undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1) telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah isteri, pada pihak lain suami ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian dalam upaya menuntut perceraian suami telah mempunyai jalur tertentu melalui cerai talak dan isteri menuntut perceraian melalui cerai gugat. Dalam kasus ini yang bertindak sebagai pengugat adalah isteri yang bernama Dra. “E” binti “AL” dan pihak tergugat adalah suami yang bernama “DS” bin “FS”.
Pasal 86 ayat 1 dalam undang-undang Peradilan Agama juga memperbolehkan penggabungan gugatan dalam cerai gugat dengan pengasuhan anak, nafkah dan pembagian harta bersama. Dalam kasus ini juga diajukan tentang hak pemeliharaan dan pengasuhan anak atas nama Kenny Ellanto dan Nicky Maninda.
Mengenai Pengadilan Agama mana yang kompeten memeriksa perkara cerai gugat diatur di dalam pasal 73 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di dalam pasal ini telah ditentukan aturan pokok dan aturan tambahan, aturan pokok yaitu gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “penggugat”.
Ketentuan ini merupakan kebalikan dan pengecualian dari asas umum yang mmengajarkan gugatan diajukan di pengadilan tempat kediaman tergugat, sebagaimana yang ditentukan dalam aturan pokok pasal 118 HIR atau pasal 142 RBG, juga asas yang ditetapkan sebagai aturan pokok dalam pasal 66 UU NO. 7 tahun 1989 dalam perkara cerai talak. Kenapa asas ini berbeda jawabannya terdapat dalam penjelasan pasal 73 ayat 1 yang berbunyi: “Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang di maksud dalam pasal 66 ayat 2, maka untuk melindungi pihak isteri gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.”
Dalam aturan tambahan disebutkan bahwa kompentensi dari aturan pokok dalam hal ada keadaan tertentu, dengan aturan tambahan ini perkara cerai gugat beralih dari pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat penggugat ke Pengadilan Agama lain sesuai dengan hal-hal berikut:
a. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat (suami) apabila isteri (penggugat) pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
b. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat dalam hal isteri bertempat kediaman di luar negeri.
c. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, apabila suami isteri bertempat kediaman di luar negeri.
Dalam pertimbangan hukumnya hakim menggunakan bahwa pengakuan tergugat terhadap dalil gugatan pengggugat secara bulat dan murni di depan persidangan menurut ketentuan pasal 174 HIR jo pasal 1925 kuh perdata merupakan bukti sempurna.
Pertimbangan ini diambil dari jawaban tergugat mengakui bahwa benar antara tergugat dan penggugat sering terjadi peselisihan dan pertengkaran semenjak tergugat kembali ke agama Kristen yang telah tergugat anut sebelum menikah, dan tergugat tidak mempunyai pekerjaan. Dan ditambah keterangan saksi-saksi dipersidangan.
Selanjutnya hakim juga memuat pertimbangan yakni tujuan dari perkawinan yang tercantum pada pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 3 KHI oleh karenanya memutuskan perkawinan keduanya akan lebih baik dan lebih bermanfaat bagi keduanya dan keluarga masing-masing daripada membiarkan keduanya terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang tidak mendatangkan kebahagiaan.
Hakim juga memuat ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf f dan huruf h KHI yang berbunyi:
(f) antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
(h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Dan persoalan pemeliharaan anak hakim mencantukan ketentuan pasal 105 huruf a dan 156 huruf a KHI dan telah mendapat persetujuan dari tergugat.
Menurut penulis perlu adanya penambahan pertimbangan hukum yang harus dimuatkan dalam putusan ini dan menurut penulis ini adalah dasar hukum dari kasus perceraian dan kedua belah pihak berbeda agama.
Ketentuan pasal 44 KHI yang berbunyi,”seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragam Islam”. Walaupun hal pasal ini mengandung pencegahan namun hal ini juga dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemutusan perkawinan. Kerena menurut penulis hal itu berlaku umum, apakah sebelum terjadi perkawinan maupun setelah tejadi perkawinan.
Pertimbangan ini diperkuat dengan pasal 8 huruf f UU No. 1 tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.” Dengan rumusan umum yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, ”Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut penulis persoalan murtad yang dilaksankan menurut perkawinan Islam, putusnya perkawinan itu bukan disebabkan karena adanya perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, melainkan karena perkawinan itu dilarang oleh agama Islam.
Adanya perselisihan atau tidak dalam persoalan murtad adalah membuat perkawinan tersebut batal.
B. Kasus Kedua
Kasus tentang persoalan murtad yang dilakukan oleh isteri. Nomor Putusan 1315/pdt.G/2003/PAJS telah diputuskan di Pangadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 1 Maret 2004 M yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1425 H.
Perkara ini terjadi antara “MBA” binti “ES” sebagai penggugat dan “RRS” bin “AS” sebagai tergugat.
“MBA” binti “ES” berumur 39 tahun, agama Katholik, pendidikan Sarjana, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Komplek DDN II No. E.24 Rt.004/005 Kelurahan Pondok Labu Kecamatan Cilandak, Jakarta selatan.
“RRS” bin “AS” berumur 53 tahun, agama Islam, pendidikan Sarjana, pekerjaan swasta tempat tinggal di Komplek DDN II No. E.24 Rt.004/005 Kelurahan Pondok Labu Kecamatan Cilandak, Jakarta selatan.
1. Duduk perkara
Di dalam duduk perkara di jelaskan bahwa menimbang pengugat dengan surat gugatannya tertanggal 1 Desember 2003 yang telah terdaftar dibagian kepaniteraan Pangadilan Agama telah mengaajukan gugatan cerai sebagai berikut:
a. Pada hari selasa tanggal 27 Januari 1987 telah dilangsungkan pernikahan antara penggugat dan tergugat, tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kota Sukabumi Selatan dengan kutipan Akta Nikah No. 437/1987 tanggal 27 Januari 1987.
b. Sejak menikah sampai tahun 1998 kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri meskipun pernah timbul perselisihan namun masih dapat diatasi. Pada waktu rukun berkediaman di alamat sebagai tersebut di atas.
c. Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak yang bernama Mira Yudhia, lahir tanggal 31 Agustus 1987.
d. Sejak tahun 1987 sampai sekarang kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan yang sulit diatasi sehingga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga.
e. Sebab-sebab terjadinya perselisihan tersebut karena:
1) Penggugat dan tergugat telah berbeda agama sehingga timbul banyak perbedaan dalam membina rumah tangga.
2) Tergugat sering pulang pagi tanpa alasan yang jelas.
3) Tergugat sering mengucapkan kata-kata cerai terhadap penggugat.
f. Akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak tahun 1998 sampai sekarang ini lebih kurang 6 bulan penggugat dan tergugat telah berpisah ranjang, yang mana dalam pisah tersebut penggugat dengan tergugat masih tinggal di alamat tersebut di atas.
g. Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara musyawarah agar rumah tangga rukun kembali namun tidak berhasil.
h. Dengan sebab-sebab tersebut di atas, maka penggugat merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga, oleh karena itu mohon kiranya kepada bapak ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dapat memutuskan perkawinan penggugat dan tergugat.
i. Mengingat anak masih di bawah umur, maka anak tersebut haruslah di bawah asuhan penggugat demi kelangsungan kasih sayang ibu dan anak serta demi kelangsungan pendidikannya. Adapun mengenai nafkah anak tersebut hendaknya dibebankan kepada tergugat untuk setiap bulannya sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).


2. Tututan
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penggugat mohon kepada bapak ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar dapat memutuskan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
b. Memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat karena perceraian.
c. Memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Kota Sukabumi Selatan untuk mencatat perceraian tersebut.
d. Memutuskan anak penggugat dengan tergugat yang bernama Mira Yudia, lahir tanggal 31 Agustus 1987 diasuh oleh penggugat.
e. Menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut melalui penggugat untuk setiap bulannya sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
f. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Atau menjatuhkan putusan perkara ini dengan seadil-adilnya.
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan penggugat akan tetapi tergugat tidak datang menghadap atau menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil dengan patut, sedangkan tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan sessuatu halangan yang sah.
Setelah dibacakan surat gugatannya pengugat menyatakan tetap bertahan pada isi gugatannya namun oleh penggugat gugatan pada petitum angak 4 dan 5 dinyatakan dicabut.
Penggugat telah mengajukan bukti-bukti tertulis berupa foto copy yang telah disesuaikan dengan aslinya dan bermaterai cukup yaitu kutipan Akta Nikah no. 437/1987, tanggal 27 Januari 1987.
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis, penggugat telah pula mengajukan 2 (dua) orang saksi yaitu:
a. “RG” bin “K”, berumur 60 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal jl. Ribut Rt.008/009 Kelurahan Cinere, kecamatan Limo, Depok.
b. “RRS” binti”RS” umur 43 tahun, agama katholik, tempat tinggal jl. Wiramata Kusuma No. 5 Rt. 001/10 Blok E, Bandung Selatan, Bandung.
Pada akhirnya penggugat telah mengajukan kesimpulan dan mohon putusan.
Untuk melengkapi dan ringkasnya putusan ini, maka segalanya yang tercatat dalam berita acara persidangan perkara ini dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini.
3. Pertimbangan hukum
Dalam pertimbangan hukumnya disebutkan bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat sebagaimana telah diuraikan di atas.
Menimbang, bahwa ternyata tergugat meskipun telah dipanggil dengan patut tidak datang menghadap dan tidak pula ternyata, bahwa tidak datangnya itu disebabkan sesuatu halangan yang sah, maka tergugat harus dinyatakan tidak hadir.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti berupa Kutipan Akta Nikah No.437/1987 tertanggal 27 Januari 1987 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Kota Sukabumi Selatan, Sukabumi (bukti P-1), terbukti bahwa antara penggugat dan tergugat adalah suami isteri.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan penggugat dan keterangan dua orang saksi di bawah sumpahnya menerangkan bahwa antara penggugat dengan tergugat telah terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan karena antar penggugat dan tergugat berbeda agama, sehingga antara penggugat dan tergugat telah pisah ranjang selama lebih kurang 6 tahun.
Menimbang, bahwa penggugat dan saksi-saksi tersebut ternyata rumah tangga penggugat dan tergugat tidak harmonis lagi karena seringnya terjadi pertengkaran yang terus menerus, dan dengan ketidakhadirnnya tergugat dianggap bahwa tergugat telah membenarkan seluruh dalil-dalil gugatan penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut ternyata rumah tangga penggugat dan tergugat telah pecah dan sulit untuk dirukunkan lagi, keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat yang demikian tersebut telah tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana yang diinginkan surat ar-Rum ayat 21 jo pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 3 KHI, yaitu rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Menimbang, bahwa dengan demikian terbukti bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan pasal 19 huruf f PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf f KHI.
Menimbang, bahwa sesuai dengan petitum gugatan penggugat angka 3 dan hal tersebut bersesuaian dengan undang-undang, maka memerintahkan PPN KUA Kecamatan Kota Sukabumi untuk mencatat perceraian tersebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan ternyata gugatan penggugat tersebut ternyata tidak melawan hukum dan beralasan, maka pengadilan berpendapat bahwa gugatan penggugat dapat dikabulkan.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada penggugat.
4. Putusan
Dan akhirnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengadili perkara ini dengan putusan:
a. Menyatakan tergugat telah dipanggil untuk datang menghadap dipersidangan tetapi tidak hadir.
b. Mengabulkan gugatan tergugat dengan verstek.
c. Menjatuhkan talak satu bain suqhro tergugat (“RRS” bin “AS”) terhadap penggugat (“MBA” binti “ES”) dan menyatakan putus perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian.
d. Memerintahkan kepada KUA Kecamatan Kota Sukabumi Selatan untuk mencatat perceraian tersebut.
e. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 317.000,- (tiga ratus tujuh belas ribu rupiah).
5. Analisis penulis
Dalam kasus kedua ini penulis tidak akan membahas yang telah dibahas dalam kasus pertama, namun lebih kepada persoalan lain yang tidak dibahas dalam kasus pertama.
Dalam kasus ini penggugat beragama katholik dan tergugat beragama Islam. Perkawinan keduanya telah dilangsungkan di KUA Kecamatan Kota Sukabumi Selatan, Sukabumi dengan kutipan Akta Nikah No.437/1987 tertanggal 27 Januari 1987 kasus ini telah memenuhi asas personalitas ke Islaman.
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan juga terdapat dalam kasus ini yaitu dengan surat gugatan tanggal 1 Desember 2003 dan putusan tanggal 1 maret 2004. Perkara ini hanya diproses selama 2 (dua) bulan, sejak surat gugatan diajukan. Biaya dalam kasus ini juga masih dapat dikatakan wajar.
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan telah diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 pasal 57 ayat (3) yang berdasarkan dari ketentuan pasal 4 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970. Dalam penjelasan umum UU no. 7 tahun 1970 ini pada angka 8, disebutkan bahwa:
“Ketentuan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam undang-undang hukum acara pidana dan hukum acara perdata yang memuat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana”.

Selanjutnya lebih dipertegaskan lagi dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi:
“Peradilan harus memenuhi harapan dari pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan”.

Asas persidangan terbuka untuk umum. Dalam hal perceraian persidangan terbuka untuk umum tidak diberlakukan. Mengenai pengecualian ini diatur dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yaitu: “Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebahagian akan dilakukan dengan sidang tertutup”.
Pengecualian ini juga diatur dalam pasal 80 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 jo pasal 33 PP No. 9 tahun 1975, yang berbunyi: “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”. Pengaturan pengecualian ini bertujuan untuk merahasiakan aib rumah tangga dan pribadi suami isteri.
Dalam kasus ini, tergugat di dalam sidang pemeriksaan hingga akhir pemeriksan tidak datang di dalam persidangan atau menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak datangnya itu tidak disebabkan sesuatu halangan yang sah.
Panggilan pihak dalam perkara dikenal dengan dua cara yaitu “patut” dan “resmi”. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Panggilan harus memenuhi tenggang waktu yang patut.
Ketentuan ini telah diatur dalam pasal 122 HIR atau pasal 146 RBG. Jika panggilan dilakukan dalam keadaan normal, di mana tempat kediaman tergugat atau termohon diketahui, jangka waktu antara penyampaian panggilan dengan penetapan tanggal hari sidang, paling kurang 3 hari. Batas tenggang yag demikian telah didefinitifkan dalam pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
b. Panggilan harus dilakukan secara resmi.
Panggilan secara resmi dilakukan dengan sasaran atau obyek panggilan harus tepat menurut tata cara yang ditentukan sesuai dengan ketentuan tertentu. Ketentuan ini telah diatur secara rinci dlam pasal 390 HIR dan pasal 718 RBG. Khusus untuk perkara perceraian aturan umum yang diatur HIR dan RBG ditambah aturan yang ditetapkan dalam pasal 26, 27 dan 28 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975.
Ketentuan ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Aturan pokok: panggilan langsung kepada pribadi di tempat kediaman orang yang dipanggil. Aturan ini memuat dua unsur yaitu;
a) langsung kepada pribadi orang yang dipanggil, dan
b) langsung disampaikan di tempat kediaman orang yang dipanggil
2) Aturan tambahan: panggilan sah dilakukan di luar tempat kediaman orang yang dipanggil dalam keadaan tertentu sesuai dengan tata cara yang ditentukan undang-undang. Antara lain:
a) Panggilan disampaikan melalui Lurah (Kepada Desa) dengan syarat orang yang dipanggil tidak dijumpai di tempat kediaman.
b) Penggilan Umum melalui Bupati atau Walikota apabila tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui.
c) Panggilan disampaikan melalui Perwakilan RI setempat apabila tergugat (orang yang dipanggil/bertempat kediaman di luar negeri).
Dalam pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Diatur dengan cara yang lebih realistis yaitu:
(1) Menempelkan surat gugatan pada papan pengumuman di pengadilan yang bersangkutan.
(2) Kemudian mengumumkan penempelan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain.
(3) Pengumuman tersebut harus dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua.
(4) Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan penetapan hari sidang sekurang-kurangnya 3 bulan.
(5) Bila tergugat tidak memenuhi panggilan, gugatan dapat dikabulkan, kecuali apabila gugatan tanpa hak atau tanpa dasar hukum.
d) Panggilan disampaikan kepada ahli waris apabila orang yang dipanggil “meninggal dunia”.
Pada kasus ini dilakukan pengkabulan gugatan penggugat dengan cara verstek.
Dalam pertimbangan hukum hakim menyatakan bahwa tergugat tidak datang atau menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil secara patut. Kemudian hakim juga menambahkan keterangan saksi yang menguatkan gugatan yaitu dengan alasan antara penggugat dan tergugat telah terus menerus terjadi peselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan karena penggugat dan tergugat berbeda agama.
Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tidak sesuai dengan tujuan perkawian sebagimana yang diinginkan surat ar-Rum ayat 21 jo pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 3 KHI, yaitu rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Perselisihan dan pertengkaran terus menerus juga telah memenuhi ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f KHI.
Menurut penulis pertimbangan hukum yang dipakai hakim masih kurang walaupun cukup memadai. Pertama hakim hanya menggunakan pasal 116 huruf f KHI, dengan meninggalkan huruf h yang berkait erat dengan kasus ini yaitu murtad karena dalam gugatan disebutkan alasan perselisihan yaitu penggugat dan tergugat telah berbeda agama.
Petimbangan lain yang ingin penulis tambahkan adalah pasal 40 huruf c KHI yang berbunyi: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu: seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dengan rumusan umum yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, ”Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Status hukum perkawinan yang salah satu pihak murtad menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dikembalikan kepada agama yang dianut para pihak, sesuai dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: ”Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dan dikuatkan oleh pasal 8 huruf f yaitu: ”perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”. Kompilasi Hukum Islam juga memuat aturan pada pasal 40 huruf c yang berbunyi: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam”, dan pasal 44 yaitu: ”seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”, dan ditambah lagi pada pasal 116 huruf h yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”.
2. Dalam hukum Islam tentang kemurtadan pihak suami mengakibatkan perkawinan tersebut batal karena alasan bahwa murtad adalah disamakan dengan musyrik walaupun isteri berpindah kepada ahli kitab. Apa lagi pindah ke agama lain maupun tidak beragama. Jika pihak isteri yang murtad tetap di batalkan karena alasan murtad adalah suatu dosa besar. Namun kedua kondisi tersebut dilaksanakan setelah diberikan kesempatan bertaubat bagi pihak yang murtad. Pelaksanaannya dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dapat dilaksankan namun termasuk dalam alasan atau penyebab perceraian. Namun pelaksanan kasus ini tetap di Pengadilan yang berhukum berdasarkan gugatan yang diajukan.
3. Akibat hukum yang timbul dari perkawinan yang salah satu pihak pindah agama menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dapat dilakukan perceraian atas kasus ini. Namun harus ada pengajuan dari pihak yang berperkara. Penulis dalam hal ini sependapat namun diperlukan langkah yang konkrit dalm penyelesaian kasus ini dengan lebih menekankan pada persoalan tata cara pembatalan perkawinan akibat murtad bukan sekedar perceraian.

B. Saran
1. Kasus murtad merupakan fenomena yang banyak terjadi, baik itu diputuskan melalui perceraian dan tidak sedikit yang terus menjalaninya seperti perkawinan beda agama. Menurut penulis berdasarkan uraian yang menghasilan keharaman terhadap pernikahan yang salah satu pihak dalam keadaan murtad, perlu diatur dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa murtad merupakan salah satu hal yang termasuk dalam perkawinan yang dibatalkan.
2. Tata cara pembatalan menurut penulis adalah pengajuan oleh orang yang terikat dalam perkawinan, dapat juga diajukan oleh keluarga yang terikat dalam perkawinan dan petugas pengawas perkawinan dan orang yang berkepentingan dalam kasus perkawinan seperti ini.
3. Perlu hendak diadakan perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menjamin persoalan yang seperti ini tidak terjadi lagi terutama yang tercantum dalam Undang-Undang Terapan Pengadilan Agama yang berada dalam proses.

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. ed. 1. cet.1. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. cet.1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Ad-Dimasyqi, Muhammad Bin Abdurrahman. Fiqh Empat Mazhab. [Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah]. Diterjamah oleh Abdullah Zaki Alkaf. Jakarta: Hasyimi Press, 2001.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Ensiklopedi Muslim [Minhajul Muslim]. Diterjemah oleh Fadhli Bahri. cet. 2. Jakarta: Darul Falah, 2001.

Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan As-Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah]. Diterjemah oleh Bahruddin F. cet.3. Jakarta: Robbani Press, 2002.

Al-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Juz VII. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia. Ed. Revisi. Cet. 4. Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah Dan Negara-Negara Islam. Cet.1. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Departemen Agama, 2001.

-------------. Pegangan Calon Pengantin. Jakarta: Departemen Agama, 2001.

-------------. Petunjuk Pelaksanan Perkawinan Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri. Jakarta: Departemen Agama, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi. 3. Cet. 1. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Faridl, Miftah. 150 Masalah Nikah Dan Keluarga. cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama. cet.2. Bandung: Mandar Maju, 2003.

Halim, Abdul. Perdilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia; Dari Otoriteri Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. ed. 1. cet. 2. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2002.

Hasan, Kamal. Modernisasi Indonesia; Respon Cendikiawan Muslim. Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.

Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1961.

Hazairin. Tinjauan Mengenai UUP No.1 tahun 1974. Cet. 1. Jakarta: Tintamas. 1975.

Hoesin, Ibrahim. Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak,Dan Rujuk. Jakarta: Ihya Ulumuddin,1971.

Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. cet. 1. Jakarta: Khairul Bayaan, 2003.

Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. cet. 3. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.

Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Cet.2. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Lev, S. Daniel. Peradilan Agama Islam Di Indonesia. [Islamic Courts In Indonesia]. Diterjemah oleh Zaini Ahmad Noeh. Cet.2. Jakarta: Intermasa, 1986.

Mamuji, sri dan Hang Rahardjo. Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah. Ed. 5. Pra cetak. Jakarta. 2001.

Maududi, Abdul A’ala Dan Fazl Ahmed. Pedoman Perkawinan Dalam Islam [The Laws Of Marriage And Divorce In Islam]. Diterjemah oleh Alwiyah. Cet.3. Jakarta: Darul Ulum Press, 1999.

Mujieb, M. Abdul. Kamus Istilah Fiqih. cet. 1. Jakarta: Pustaka Fidaus, 1994.

Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. cet.3. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.

Nasution, Khoiruddin. Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Nur, Djamaan. Fiqih Munakahat. cet. 1. Semarang: Toha Putra, 1993.

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI. cet.1. Jakarta: Kencana, 2004.

Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Cet.6. Bandung: Sumur Bandung, 1974.

Prodjohadidjojo, Martiman. Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan. Cet.2. Jakarta: Pradnya Paramita. 1991.

Qadiry, Abdullah Ahmad. Nikah Beda Agama Menurur Islam Dan Seputar Kontroversi Pernikahan Putri Cak Nur. Cet.1. Yogyakarta: Media Wacana. 2003.

Rahman, S.A. Punishment Of Apostasy In Islam. Cet. 1. India: Kitab Bhavan, 1996.

Rahman, Bakri. A. dan Ahmad Sukardja. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam UUP dan Hukum perdata/BW. Jakarta: Hidakarya Agung. 1981.

Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. cet. 2. Jakarta : Sinar Grafika, 2000.

---------. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

---------. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Ed. Revisi. Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990.

Rasyid, Roihan A. Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama. Cet. 1. Jakrta: Pedoman Ilmu Jaya. 1989.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. cet. 20. Bandung: Sinar Baru, 1987.

Rasjidi. Kasus R.U.U. Perkawinan Dalam Hubungan Islam Dan Kristen. Cet.1. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia. Cet. 1. Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1991.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Ed. 1. Cet. 4. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah 6 [al-Fiqh al-Sunnah]. diterjemahan oleh Kahar Mansur. Jakarta: Kalam Mulya, 1990.

-------------- Fikih Sunnah 7 [al-Fiqh al-Sunnah]. diterjemahan oleh Kahar Mansur. Jakarta: Kalam Mulya, 1990.

-------------- Fikih Sunnah 8 [al-Fiqh al-Sunnah]. diterjemahan oleh Kahar Mansur. Jakarta: Kalam Mulya, 1990.

-------------- Fikih Sunnah 9 [al-Fiqh al-Sunnah]. diterjemahan oleh Kahar Mansur. Jakarta: Kalam Mulya, 1990.

Saleh, Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978.

Sanusi; Badri; dan Syaruddin. Ed. Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari. Cet.4. Jakarta: Pustaka Antara, 1996.

--------- dan Syaruddin. Ed. Apa Dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga. Cet.4. Jakarta: Pustaka Antara, 1996.

Sidik, Abdullah. Hukum Perkawinan Islam. Cet.2. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1983.

Sirry, Mu’min.A. Ed. Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina. 2004.

Sosroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan Di Indonesia. cet. 2. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 29. Jakarta: Intermasa.2001.

Sukarja, Ahmad. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam dalam Buku Pertama Problematika Hukum Islam Kontemporer. ed. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. cet. 4. Jakarta: LSIK, 2002.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet.5. Jakarta: UI-Press, 1986.

Wagito, Bimo. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Ed. 1. Cet.1. Yogyakarta: Andi Offset, 2002.

Yanggo, Chuzaimah.T. dan Hafiz Anshary. ed. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Cet.4. Jakarta: LSIK, 2002.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali. Cet.15. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996.


B. Undang-undang


Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1, LN No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, LN NO. 12 tahun 1975, TLN No. 3050.

Indonesia. Penjelasan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 tahun 1975.

Intruksi Presiden RI. No. 1 tahun 1991. Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Keputusan Menteri Agama. No. 154 tahun 1991. Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991.


C. Artikel

Firdaus AM. Riddah Sebagai Kanker Aqidah. Panji Masyarakat. No. 412. Tahun XXV.





Lampiran

1. Ar-Rum ayat 21.

ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل
بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
2. Hadist Tentang Perintah Nikah

يا معشر الشباب من استطاع منكم البأة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (رواه البخارى و مسلم)
3. Ali Imran ayat 19

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب




4. Luqman ayat 30

ذلك بأن الله هو الحق وأن ما يدعون من دونه الباطل وأن الله هو العلي الكبير

5. Ali Imran ayat 85

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين



6. Al-Baqarah ayat 217

يسألونك عن الشهر الحرام قتال فيه قل قتال فيه كبير وصد عن سبيل الله وكفر به والمسجد الحرام وإخراج أهله منه أكبر عند الله والفتنة أكبر من القتل ولا يزالون يقاتلونكم حتى يردوكم عن دينكم إن استطاعوا ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في


7. Al-Baqarah ayat 221

ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار والله يدعو إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين آياته للناس لعلهم يتذكرون

8. Mumtahanah ayat 10

يا أيها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهن فإن علمتموهن مؤمنات فلا ترجعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن وآتوهم ما أنفقوا ولا جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آتيتموهن أجورهن ولا تمسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم



9. Al-Maidah ayat 5

اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين








10. An-Nisa’ ayat 21

وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقا غليظا


11. An-Nisa’ ayat 35

وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
12. Al-Baqarah ayat 226

للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فاءوا فإن الله غفور رحيم

13. Hadist Tentang Talak

عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
أبغض الحلال إلى الله الطلاق (رواه أبو داود وابن ماجه)

14. An-Nisa’ ayat 24

والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم كتاب الله عليكم وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة إن الله كان عليما حكيما

15. An-Nisa’ ayat 128

وإن امرأة خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أن يصلحا بينهما صلحا والصلح خير وأحضرت الأنفس الشح وإن تحسنوا وتتقوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا

16. Hadits Tentang Murtad

عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من بدل دينه فاقتلوه (رواه البخارى و مسلم)


17. Hadits Tentang Hukuman Murtad

عن ابن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث: كفر بعد ايمانه وذتا بعد احصان وقتل نفس بغير نفس


18. At-Tahrim ayat 6

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

19. Hadits Tentang Waris

عن أسامة بن زيد ان النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يرث المسلم الكافر والكافر المسلم (متفق عليه)


[1] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, cet. 3, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), hal. 19.
[2] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, op. cit., Pasal. 1.
[3] Bimo Wagito, op. Cit., hal. 14.
[4] Ibid.

[5] Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) melaksanakan libido seksualis; (2) memperoleh keturunan; (3) memperoleh keturunan yang saleh; (4) memperoleh kebahagiaan dan ketentraman; (5) mengikuti sunnah Nabi; (6) menjalankan perintah Allah; dan (7) untuk berdakwah. Lihat buku Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 12-18.
[6] Kompilasi diambil dari kata “compilaare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie” dalam bahasa Belanda.
[7] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, op. cit., Pasal. 2.
[8] Masih banyak contoh kasus yang terjadi pembatalan perkawinan karena salah satu pihak kembali kepada agamanya semua (murtad) dan perkawinan beda agama, lihat Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 57.
[9] Bimo Wagito, op. Cit., hal. 15.
[10] Ibid.

[11] Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, cet. 1, (Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1991), hal. 1.
[12] Bimo walgito., op. cit., hal. 16.
[13] Pendapat lain tentang klasifikasi tentang kebutuhan kebutuhan manusia adalah pendapat dari murray, menurut murray kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu dapat dikelompokkan menajdi dua kelompok besar, yaitu primary needs atau viscerogenic needs dan secandaary needs atau psychogenic needs. Primary needs adalah kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan yang bersifat biologis, kebutuhan yang berkaitan dengan esksistensi organisme, misalnya kebutuhan makan, minum, seks, dan udara. Sedangkan psychogenic needs adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan yang bersifat psikologis.
[14] Yahya Harahap, op. cit., hal. 136-137.
[15] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 9 [al-Fiqh al-Sunnah], diterjemahan oleh Kahar Mansur, (Jakarta: Kalam Mulya, 1990), hal. 193.
[16] Firdaus AN, “Riddah Sebagai Kanker Aqidah”, Panji Masyarakat No. 412, Tahun XXV, hal.62.
[17] Lihat firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 1, menjelaskan terjadinya masyarakat adapun ayat tersebut mempunyai artinya, “Tuhan telah menjadikan manusia pertama dari zat (dalam tanah). Dan dari zat itu pula Tuhan menjadikan pasangannya. Dan dari keduanya memancarlah (lahirlah) laki-laki dan perempuan yang banyak”. Ayat tersebut juga mempunyai kandungan hukum perkawinan yang berbunyi: “Hai manusia berbaktilah kamu kepada Tuhan yang dengan nama Tuhan itu kamu saling meminta antara laki-laki dan perempuan itu untuk menjadi pasangan hidupnya. Lihat buku Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 37.

[18] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), hal. 29.

[19] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi. 3, cet. 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 518.

[20] Ibid., hal. 519.
[21] Ibid., hal. 782.

[22] Ibid.
[23] Golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah itu adalah akad yang memfaedahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja, golongan Asy-Sayfi’iyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ denga lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya, golongan Malikiyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya, dan golongan Hanabilah nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
[24] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, cet. 1, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 1.

[25] Wahbah al-Zuhaily, op.cit., hal. 39.
[26] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 2.

[27] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hal. 61.

[28] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet. 15, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), hal. 1.

[29] Ibrahim Hoesin, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak, Dan Rujuk, (Jakarta :Ihya Ulumuddin,1971), hal. 65.

[30] R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet.6, (Bandung: Sumur Bandung, 1974), hal. 7.
[31] Lili Rasjidi, op.cit., hal. 4.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid., hal. 5.
[35] Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden RI, No. 1 tahun 1991, Pasal. 2.

[36] Pengertian perkawinan dalam RUU perkawinan yang tidak diteruskan menjadi undang-undang mengatakan bahwa pengertian perkawinan ialah ikatan lahir batin yang diperintahkan oleh agama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk memenuhi hajat hidup bersama, berumah tangga serta untuk memperoleh keturunan yang sah menurut agama. Dalam redaksi lain dalam RUU perkawinan yang tidak diteruskan menjadi undang-undang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)yang bahagia dan kekal. Lihat buku Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 47.

[37] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, op.cit., Pasal. 1.

[38] Bimo Wagito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, ed. 1, cet.1, (Yogyakarta: Andi Offset, 2002), hal. 12.
[39] Sayuti Thalib, op.cit., hal. 47-48.
[40] R. wirjono prodjodikoro, op.cit., hal. 24.
[41] Dalam kamus bahasa Indonesia tahkim diartikan prihal menjadi hakim dan keputusan (pertimbangan) bertahkim adalah mempergunakan hakim (dalam persengketaan).

[42] Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), hal. 38.

[43] Compencium adalah buku ringkasan mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam, disusun oleh D.W. Freijer yang telah disempurnakan oleh para penghulu, diberlakukan di daerah jajahan VOC. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, ed. 1, cet. 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 13.
[44] Ibid.

[45] Khoiruddin Nasution, op.cit., hal. 39

[46] Ibid.

[47] Ibid.
[48] Ibid., hal. 40.
[49] Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 25.

[50] Ibid., hal. 14-15.

[51] Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang nikah, talak dan rujuk adalah: pada pasal 1 disebutkan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.
[52] Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang penetapan Berlakunya Undang-Undang RI tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa Dan Madura memutuskan bahwa dengan mencabut Huwelijksordonnantie Buitengwesten Staatblad 1932 No. 482 dan semua peraturan-peraturan (juga dari pemerintahan Swapraja) tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk umat Islam yang berlainan dan bertentangan dengan Undang-Undang RI tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946.
[53] Khoiruddin Nasution, op.cit., hal. 42.

[54] Ibid., hal. 43.

[55] Secara umum peraturan pemerintah No. 10 tahun 1983 hanya mengurai lima hal pokok, yakni (1) siapa yang dimaksud dengan PNS,(2) siapa yang dipersamakan dengan PNS, (3) alasan boleh atau tidaknya PNS dan yang dipersamakan denga PNS untuk cerai, (4) alasan boleh atau tidaknya beristeri lebih dari satu untuk PNS pria, dan (5) syarat boleh atau tidaknya seorang PNS wanita menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari PNS maupun non-PNS pria.
[56] Tiga fungsi Kompilasi Hukum Islam, yaitu:(1) Sebagai suatu langkah awal/sasaran antara untuk mewujudkan kodifikasi dan juga unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk warga masyarakat. Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, di mana ketentuan-ketentuan hukum yang sudah dirumuskan dalam kompilasi ini akan diangkat sebagai bahan materi hukum nasional yang akan diberlakukan nanti. (2) Sebagai pegangan dari Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. (3) Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab kuning yang semula tidak mereka baca secara langsung. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ed. 1, cet.1, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hal. 60.
[57] Isi buku KHI adalah Bab I: Ketentuan Umum; Bab II: Dasar-Dasar Perkawinan (pasal 2 s/d 10); Bab III: Peminangan (pasal 11 s/d 13); Bab IV: Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14 s/d 29); Bab V: Mahar (pasal 30 s/d 38); Bab VI: Larangan Kawin (pasal 39 s/d 44); Bab VII: Perjanjian Perkawinan (pasal 45 s/d 52); Bab VIII: Kawin Hamil (pasal 53 s/d 54); Bab IX: Beristeri Lebih dari Satu Orang (pasal 55 s/d 59); Bab X: Pencegahan Perkawinan (pasal 60 s/d 69); Bab XI: Batalnya Perkawinan (pasal 70 s/d 76); Bab XII: Hak dan Kewajiban Suami Isteri (pasal 77 s/d 84); Bab XIII: Harta Kekayaan dalam Perkawinan (pasal 85 s/d 97); Bab XIV: Pemeliharaan Anak (pasal 98 s/d 106); Bab XV: Perwalian (pasal 107 s/d 112); Bab XVI: Putusnya Perkawinan (pasal 113 s/d 148); Bab XVII: Akibat Putusnya Perkawinan (pasal 149 s/d 162); Bab XVIII: Rujuk (pasal 163 s/d 169); dan Bab XIX: Masa Berkabung (pasal 170).
[58] Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia; Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, ed.1, cet.2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 126-127.
[59] Prinsip-prinsip ini tercantum dalam perjelasan umum dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, terdapat dalam sub.4. lihat dalam Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. 4. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), hal. 68-69.
[60] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Pasal. 6.
[61] Ibid., Pasal. 7.

[62] Ibid., Pasal. 8.

[63] Ibid., Pasal. 9.

[64] Ibid., Pasal. 10.

[65] Ibid., Pasal. 11.

[66] Ibid., Pasal. 12.
[67] Ahamd Rafiq, op.cit., hal. 75.

[68] Lili Rasjidi, op. Cit., hal. 74. dan lihat Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Pasal. 6 ayat (4).
[69] Ibid., hal. 75.

[70] Lihat R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, hal. 55.
[71] Ahamd Rafiq, op.cit., hal. 79.
[72] Lihat Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pada Pasal. 5 ayat (1) dan (2).
[73] Sebab-sebab yang membolehkan adanya poligami dijelaskan oleh Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal. 3.
[74] Lili Rasjidi, op. cit., hal. 79.

[75] Sayuti Thalib, op.cit., hal. 122.
[76] Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, LN NO. 12 tahun 1975, TLN No. 3050, Pasal. 39.

[77] Lili Rasjidi, op. Cit., hal. 73.
[78] Ibid., hal. 80.

[79] Khoiruddin Nasution, op. Cit., hal. 146.
[80] Lili Rasjidi, op. cit., hal. 70.

[81] Khoiruddin Nasution, op. Cit., hal. 147.

[82] Lihat UU No. 1 tahun 1974, Pasal. 2 ayat (1) dan (2). Dan PP No. 9 tahun 1975, Pasal. 1 dan 2.

[83] Pada pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa “Pencatatan perkawinan pada ayat (1) dilakukan oleh Pengawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954”. Selanjutnya dijelaskan untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuataan hukum. Dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Lihat Kompilasi Hukum Islam, Pasal. 6 dan 7.

[84] Lili Rasjidi, op. cit., hal. 86.
[85] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 3 ayat (1).

[86] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 3 ayat (2) dan penjelasannya.

[87] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 3 ayat (3).

[88] Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, LN NO. 12 tahun 1975, TLN No. 3050, Pasal. 4.

[89] Lihat penjelasan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, Pasal. 4.

[90] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 5.
[91] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 6 ayat (2).
[92] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 9.

[93] Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Pasal. 11.
[94] Kompilasi Hukum Islam menambahkan bahwa Ayah kandung yang tidak pernah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. pencegahan perkawinan juga dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau suami yang akan melangsungkan perkawinan. Lihat Kompilasi Hukum Islam, Pasal. 62 dan 63.
[95] Kompilasi Hukum Islam pada pasal 70 menyatakan bahwa perkawinan batal apabila (a) Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i; (b) Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya; (c) Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; (d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusun sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
[96] Sulaiman Rasjid, op.cit., hal. 38

[97] Djamil Latif, op.cit., hal. 38.
[98] Ibid.

[99] Lili Rasjidi dalam desertasinya menyebutkan bahwa keputusan pengadilan yang dimaksud dalam pasal 38 ini adalah putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dalam hal kepergian salah satu pihak tanpa kabar untuk waktu yang lama. Menurut Djamil Latif keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan perkawinan atau karena perceraian.
[100] Perceraian (talak) dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaq dari kata thallaqa, berarti melepaskan (umpama seekor burung) dari sangkarnya atau melepaskan (seekor binatang) dari rantainya, jadi menthalaq isteri berarti melepaskan isteri atau membebaskannya dari ikatan perkawinan atau menceraikan isteri.
[101] Lihat UU No. 1 tahun 1974, Pasal. 39 dan Peraturan Pemerinah No. 9 tahun 1975 Pasal. 19.

[102] Sighat ta’lik talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya sesudah akad nikah adalah sebagai berikut: “sewaktu-waktu saya: (1) meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut; (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamannya; (3) atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya; (4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya enam bulan lamanya, kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Mesjid (BKM)pusat untuk keperluan ibadah sosial. Lihat buku Depatemen Agama RI, Pengangan Calon Pengantin, (Jakrata: Departemen Agama, 2001), hal. 5.

[103] Lihat Kompilasi Hukum Islam, Pasal. 116.
[104] Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 70-71.
[105] Ibid., hal. 53.
[106] Hukum zihar menurut Islam tidak langsung menjadi talak, tetapi suami yang mengziharkan isterinya dilarang (haram) mengauli (menyetubuhi) isterinya sebelum membayar kafarat. Ini berarti jika ia ingin mencabut ziharnya ia wajib membayar kafarat (denda) yaitu: (1) memerdekakan seorang budak; (2) atau kalau tidak sanggup, ia melakukan puasa dua bulan berturut-turut; (3) atau kalau ia tidak sanggup, ia memberi makan enam puluh orang miskin masing-masing ¾ (tiga perempat) liter sebagaiman tersebut dalam surat al-Mujadallah ayat 2-4. lihat buku Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 54.
[107] Ibid., hal. 60.

[108] Faskah berarti “mencabut atau membatalkan. Asalnya adalah dari kata yang berarti mencabut (sesuatu yang resmi).
[109] Sayuti Thalib, op. Cit., hal. 106.
[110] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, cet.1, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 209-210

[111] Nusyuz adalah suatu tindakan isteri atau suami yang menentang kehendak suami atau isteri dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’. Lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. 20, (Bandung: Sinar Baru, 1987), hal. 369.
[112] Miftah Faridl, 150 masalah nikah dan keluarga, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 158.

[113] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit., hal. 209-214.
[114] Lihat pasal 41 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

[115] Mutah adalah nama suatu pemberian dari suami kepada isterinya sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini wajib atas laki-laki apabila perceraian itu terjadi dengan kehendak suami, tetapi kalau perceraian itu kehendak isteri pemberian itu tidak wajib. Lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. 20, (Bandung: Sinar Baru, 1987), hal. 369.

[116] Lihat Kompilasi Hukum Islam, Pasal. 149.

[117] Sayid Sabiq, Fiqh sunnah 9 [Fiqhussunnah], diterjemah oleh Mohammad Nabhan Husien, cet. 1, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), hal. 170.

[118] S.A. Rahman, Punishment Of Apostasy In Islam, cet. 1, (India: Kitab Bhavan, 1996), hal. 9.

[119] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim [Minhajul Muslim], diterjemah oleh Fadhli Bahri, cet. 2, (Jakarta: Darul Falah, 2001), hal. 703.

[120] M. Abdul mujieb, Kamus Istilah Fiqih, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Fidaus, 1994), hal. 226.

[121] Sayid Sabiq, op.cit., hal. 172.

[122] Ibid., hal. 174.
[123] Sulaiman Rasjid, op.cit., hal. 410.
[124] Lihat Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8 butif a hingga f.

[125] Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal. 40.

[126] Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal. 44.
[127] Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, ed. revisi, (Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990), hal. 34.

[128] Kamal Muchtar, asas hukum islam tentang perkawinan, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 106.
[129] Ibid., hal. 110.
[130] Ibid., hal. 107.
[131] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op. Cit., hal. 591-593.

[132] Kamal Muchtar, op.cit., hal. 111.
[133] Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, cet. 1, (Jakarta: Khairul Bayaan, 2003), hal. 32.

[134] Ibid., hal. 40.
[135] Ahmad Sukarja, Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam dalam Buku Pertama Problematika Hukum Islam Kontemporer, ed. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, cet. 4, (Jakarta: LSIK, 2002), hal. 11.
[136] Ibid., hal. 12.
[137] Budi Handrianto, op.cit., hal 86
[138] Ibid., hal. 87-88.
[139] Ibid., hal. 42.
[140] Abdullah bin Abbas juga meriwayatkan bahwa turunya ayat ini berkenaan dengan sahabat Nabi saw yang bernama Abdullah bin Rawahah. Ia dulunya mempunyai seorang budak wanita hitam. Pada suatu hari ia memarahi budak tersebut dan menampar mukanya. Kemudian ia merasa takut lalu datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan kejadian itu. Nabi saw bertanya, “Siapa dia wahai Abdullah?” ia menjawab “Wahai Rasulullah saw dia adalah perempuan yang suka puasa, shalat, baik wuduhnya dan bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya engkau adalh utusan Allah.” Maka Nabi saw bersabda, “Wahai Abdullah, dia seorang wanita mukminah.” Selanjutnya Abdullah berkata, “Demi Allah yang mengutus engakau membawa kebenaran, sesungguhnya saya akan bebaskan dia dan kujadikan isteri.” Setelah Abdullah mengawini wanita tadi banyak celaan datang. Kaum muslimin waktu itu lebih memandang keturunan sehingga beranggapan menikahi wanita musyrikah lebih baik daripada mengawini budak. Oleh karena itu turun ayat ini melarang seorang muslim menikahi wnaita musyrikah meskipun wanita tersebut paras dan bibitnya membuat ita takjub. Al-Quran menyebutkan bahwa budak wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrikah itu.
[141] Ibid., hal. 45.
[142] Ibid., hal. 46.
[143] Ibid., hal. 47-48.
[144] Ahmad Sukarja, op.cit., hal. 20.
[145] Ibid., hal. 21.
[146] Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, cet. 1, (Jakarta: Khairul Bayaan, 2003), hal. 70-75.
[147] Yusuf al-Qardhawy, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan As-Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah], diterjemah oleh bahruddin F, cet.3 (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal. 188.
[148] Ibid.
[149] Ibid., hal. 189.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home